Film ini berfokus pada Aya (Acha Septriasa) dan suaminya (Ryan Delon) yang memiliki dua ekor anjing bernama June (anjing putih) dan Kopi (anjing hitam) yang menjadi bagian dari keluarganya.
Berbeda dengan Kopi yang merupakan anjing keluarga, June adalah anjing liar yang diselamatkan oleh Aya di pinggir jalan dan dibawa pulang. Dari awal film, sudah dijelaskan secara tersirat bahwa June tidak terlalu ramah dengan anak kecil.
Mengetahui istrinya membawa anjing liar, Ale tidak begitu suka dengan June karena merasa keluarganya sudah cukup memiliki Kopi -- yang karakternya lebih penurut dan diam daripada June. Rasa tidak suka itu pun didasari dengan kekhawatiran Ale karena ia dan Aya akan segera memiliki anak.
Meski tak disukai oleh Ale, June sangat disayang oleh Aya, pun sebaliknya.
Baca juga: "White Tiger", "underdog" yang menentukan takdirnya sendiri
Waktu terus berjalan, dan akhirnya Aya dan Ale menyambut kelahiran putrinya, Karin (Makayla Rose Hilli). Meski sempat dilarang Ale untuk berdekatan, June langsung menjadi pendamping yang setia bagi sang anak, dan mereka terus menjadi sahabat yang akrab seiring Karin tumbuh besar.
Sayangnya, suatu hari Karin dan June terjebak dalam situasi yang mengkhawatirkan, dan Aya hanya bisa berharap June mampu menjaga putrinya.
Disutradarai oleh Noviandra Santosa, film Indonesia kedua yang memiliki tema utama hubungan persahabatan antara manusia dengan hewan anjing, setelah film "Boni dan Nancy" (1974) itu terinspirasi dari pengalaman hidup sang sutradara sendiri.
Nuansa hangat dan menggemaskan segera dibangun di awal film dan berhasil menimbulkan rasa yang dekat bagi penonton.
Tak hanya mampu menempatkan penonton sebagai manusia, sutradara yang akrab disapa Novi itu juga mampu membuat audiens melihat dunia yang dilihat oleh para anjing. Hal itu pun beberapa kali menggelitik penonton karena tingkah manusia pun tak kalah lucu jika dilihat dari sudut lain.
Tak hanya mampu memberikan kehangatan yang manis dari persahabatan antara manusia dan anjing, sutradara juga bisa menyisipkan bagaimana sebagian masyarakat masih menganggap anjing sebagai hewan yang tidak baik dan perlu dihindari. Melihat hal tersebut dengan menempatkan "mata" penonton di posisi anjing pun cukup efektif untuk mencitrakan itu.
Emosi dan nuansa yang dibangun sejak awal film terus dihidupkan dari adegan satu ke yang lain dengan runut, baik hubungan keluarga Aya, Ale, dan Karin, serta June dan Kopi.
Baca juga: "Wonder Woman 1984" ungkap pentingnya kejujuran
Banyak pengambilan gambar yang diambil dengan teknik-teknik tertentu dan dipadukan dengan palet warna bumi (earthy) yang didominasi dengan warna cokelat, krem, dan hijau.
Penggunaan teknik ini bisa dibilang selain menghasilkan visual yang cantik, juga mampu menggugah keikutsertaan dan menimbulkan emosi yang dekat dengan penonton.
Penokohan yang kuat dari seluruh aktor utama yang terlibat dalam film ini pun ikut menjadi sajian yang melengkapi cerita yang terbilang cukup sederhana ini.
Akting Acha Septriasa sebagai Aya -- seorang komikus wanita yang sedang mengandung dan kehabisan inspirasi, mampu disuguhkan Acha dengan baik. Pun dengan Ryan Delon sebagai Ale -- suami Aya yang tegas namun juga lembut kepada keluarga kecilnya.
Bagi aktris Acha Septriasa, Aya merupakan karakter yang spesial baginya. Tak hanya sama-sama seorang wanita karir yang memiliki banyak inspirasi dari lingkungan sekitarnya, menurut Acha, Aya merupakan tokoh yang sangat manusiawi.
Sependapat dengan Acha, lawan mainnya yaitu Ryan Delon yang berperan sebagai Ale, beranggapan bahwa ia bisa menghayati peran ini karena memiliki kedekatan emosional yang sama.
Cukup menarik melihat keduanya, terlebih, Acha bukanlah seseorang yang memelihara anjing, namun harus beradu peran dengan June untuk banyak adegan. Sementara Ryan yang memang seorang dog person, harus berakting "membenci" June. Keduanya mampu menunjukkan chemistry dan memainkan perannya dengan baik.
Baca juga: "Imperfect", sebuah refleksi untuk mencintai diri
Tidak lengkap rasanya bila tidak bicara tentang dua lakon utama lainnya, yaitu June dan Kopi. Tak kalah dengan aktor profesional, kedua ekor anjing ini mampu memberikan penampilan yang tak kalah baik dan emosional.
Terlepas dari anjing-anjing yang telah dilatih dengan baik, kepiawaian sutradara dalam memvisualkan emosi June dan Kopi di depan layar patut diacungi jempol.
Terdapat sejumlah keputusan teknis dari sutradara yang bisa menyentuh hati para penontonnya. Seperti mengubah sudut pandang (POV) atau mata penonton, hingga penempatan angle tertentu yang mendukung atmosfer cerita.
Adegan demi adegan pun dijahit dengan rapi dan mampu menunjukkan akting yang tulus dan jujur dari para pemainnya.
Aya dan Ale sebagai pasangan suami-istri dengan dinamika emosi yang naik-turun, mampu menggugah banyak perasaan penonton, mulai dari guyonan ringannya hingga rasa kedekatannya dengan sang anak, Karin.
Ada juga penampilan dari Tj Ruth sebagai Tante Ika yang menambah kesegaran film.
Meski demikian, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari film "June & Kopi", yang agaknya bisa menjadi pengingat bagi manusia untuk hidup berdampingan dengan makhluk hidup lain termasuk binatang.
"June & Kopi" sendiri sebelumnya direncanakan tayang di bioskop. Namun, di akhir tahun 2020, Netflix mengumumkan akan menayangkan "June & Kopi" sebagai Netflix Originals dan tayang secara global mulai hari ini, 28 Januari 2021.
Baca juga: Resensi Film - Membayangkan dunia tanpa The Beatles dalam "Yesterday"
Baca juga: Film "Instant Family" suguhkan manis getir jadi orang tua asuh
Baca juga: Teror 120 menit di "Hotel Mumbai"
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021