"Kekurangan zat besi khususnya pada anak memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya gangguan pada perkembangan kognitif, motorik, sensorik serta perilaku dan emosi," kata Fikawati dalam keterangan tertulis, Kamis.
Terlebih saat anak memasuki usia sekolah, kata dia, kekurangan zat besi akan berdampak pada kurangnya konsentrasi saat belajar, ketidakmampuan belajar, hingga perkembangan yang tertunda
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) menunjukkan 1 dari 3 anak balita Indonesia mengalami anemia. Data lain menunjukkan, lebih dari 40 persen anak balita di negara berkembang menderita anemia, sedangkan 50-60 persen kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Fikawati menjelaskan zat besi merupakan salah satu mikronutrien atau sering juga dikenal sebagai vitamin dan mineral yang sangat penting untuk mendukung kemampuan belajar anak.
Jutaan anak mengalami pertumbuhan terhambat, keterlambatan kognitif, kekebalan yang lemah dan penyakit akibat defisiensi zat besi. "Padahal, anak usia prasekolah membutuhkan dukungan lingkungan yang baik, terutama dukungan gizi seimbang sehingga orang tua harus mengetahui kebutuhan gizi, cara pemenuhannya serta upaya perbaikan gizinya," katanya.
Baca juga: Ahli gizi : Waspadai potensi obesitas saat pandemi COVID-19
Jika orang tua tidak waspada, dampaknya akan diketahui saat sudah terlambat. "Meskipun seorang anak mungkin terlihat kenyang, bisa jadi tubuhnya tengah kelaparan akibat kekurangan zat gizi mikro.” kata Fikawati.
Dokumen WHO menyebutkan terdapat bukti kuat melalui penelitian bahwa kekurangan zat besi terlihat secara meyakinkan menunda perkembangan psikomotor dan mengganggu kinerja kognitif anak prasekolah dan anak usia sekolah di Mesir, India, Indonesia, Thailand dan Amerika Serikat.
Diperkirakan 30-80 persen anak di negara berkembang, mengalami kekurangan zat besi pada usia satu tahun. Anak-anak ini akan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif maupun psikomotor.
Ketika mereka mencapai usia sekolah mereka akan mengalami gangguan kinerja dalam tes bahasa keterampilan, keterampilan motorik dan koordinasi, setara dengan defisit 5 hingga 10 poin dalam tingkat inteligensi.
Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi), Prof Dr Ir Hj Netti Herawati, M.Si mengatakan proses/belajar seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan.
"Proses belajar-mengajar pada anak usia dini, hendaknya tidak terganggu oleh berbagai masalah, termasuk kendala kesehatan," kata Prof Netti.
Orang tua dan pendidik harus saling mendukung dalam proses belajar anak, termasuk dalam pendidikan dasar seperti PAUD. Pendidik memberikan materi kepada orangtua untuk diberikan kepada anak maupun memberi arahan untuk membantu orang tua atau memunculkan ide di dalam pengajaran kepada anak.
"Sehingga anak dapat bermain hingga keluar imajinasi selama proses belajar. Semua ini bisa tercapai jika anak sehat dan tidak mengalami kekurangan zat besi," katanya.
Baca juga: Ahli Gizi sarankan masyarakat konsumsi pangan dengan gizi seimbang
Dia selalu meminta agar orang tua memerhatikan asupan bergizi di rumah untuk mendukung proses belajarnya agar bisa menyerap ilmu dengan optimal.
Penyebab kekurangan zat besi paling banyak disebabkan oleh pola makan tidak seimbang dan adanya gangguan proses penyerapan zat besi.
“Kekurangan mikronutrien memang sering disebut sebagai 'kelaparan tersembunyi' karena dampaknya tidak akan langsung terlihat, namun berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu," katanya.
Khususnya zat besi, mikronutrien ini berfungsi mengantarkan oksigen ke paru-paru untuk digunakan ke bagian tubuh lainnya. Karena itu, orang tua perlu memperhatikan konsumsi zat besi maupun mikronutrien lainnya yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan zat besi yang optimal seperti Vitamin C.
Ketika anak sudah berusia satu tahun ke atas dan bisa mengonsumsi makanan rumah, orang tua perlu memastikan konsumsi makanan yang mengandung zat besi secara teratur. Zat besi bisa ditemukan pada daging sapi dan ayam, hati, telur, kacang-kacangan, ikan dan sayuran.
Tidak hanya itu, orang tua juga perlu memastikan konsumsi makanan sumber vitamin C untuk mendukung penyerapan zat besi. Kombinasi zat besi dengan vitamin C juga dapat ditemukan pada makanan dan minuman terfortifikasi zat besi dan vitamin C seperti susu pertumbuhan untuk anak di atas satu tahun.
Terkait kebutuhan zat besi, Danone Specialized Nutrition (SN) Indonesia menyediakan sebuah platform daring untuk membantu orang tua bisa melakukan tes risiko terjadinya kekurangan zat besi pada si Kecil melalui fitur di dalam situs www.generasimaju.co.id.
Pada situs ini, menurut Corporate Communications Director Danone Indonesia Arif Mujahidin, orang tua juga dapat menemukan serangkaian artikel terkait topik nutrisi termasuk kekurangan zat besi dan bagaimana cara mengatasinya serta berbagai artikel mengenai tips untuk mendukung anak menjadi Anak Generasi Maju.
“Fitur ini diharapkan dapat membantu orang tua mendeteksi kekurangan zat besi pada anak sejak dini dan bagaimana stimulasi yang perlu dilakukan agar dapat mendukung mereka menjadi generasi maju,” kata Arif.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021