Kemungkinan tidak bisa selamat dari krisis sehingga mungkin akan downgrade ke Non Performing Loan (NPL) di 2021
Bank Mandiri memproyeksikan hanya sekitar 11 persen atau sekitar 59.813 dari total 543.758 debitur yang menerima restrukturisasi kredit, masuk kategori berisiko tinggi dan diperkirakan tidak mampu bertahan dari hantaman krisis COVID-19.
“Kemungkinan tidak bisa selamat dari krisis sehingga mungkin akan downgrade ke Non Performing Loan (NPL) di 2021,” kata Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin dalam paparan kinerja triwulan IV-2020 secara virtual di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, hingga 31 Desember 2020 bank BUMN ini memberikan keringanan berupa restrukturisasi kredit terdampak pandemi COVID-19 dengan nilai yang disetujui mencapai Rp123,4 triliun.
Dari jumlah itu, korporasi mencatat debitur itu berasal dari pelaku UMKM mencapai 336.819 debitur dengan nilai Rp33,9 triliun, terdiri dari debitur usaha mikro, kredit usaha rakyat (KUR) dan usaha kecil menengah.
Baca juga: Laba Bank Mandiri anjlok 37,7 persen tahun 2020
Sisanya, debitur non-UMKM yakni korporasi, komersial, KSM, mortgage, dan kartu kredit mencapai 206.939 debitur dengan nilai Rp89,6 triliun.
Sementara itu, lanjut dia, debitur sisanya diproyeksikan memiliki peluang untuk bertahan.
“Sebanyak 100 persen dari debitur itu sehat dan baik sebelum pandemi, bisnis atau penghasilan mereka terganggu karena PSBB dan lainnya,” imbuhnya.
Mengantisipasi peningkatan kredit bermasalah atau NPL pada tahun ini, pihaknya sudah melakukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang diterapkan sejak Maret 2020.
“Sehingga kalau pun sebagian dari debitur restrukturisasi itu nanti downgrade ke NPL, kami sudah menyiapkan CKPN sehingga tidak mengganggu financial performance Bank Mandiri,” katanya.
Baca juga: Bank Mandiri salurkan kredit Rp42,6 triliun dari dana negara
Bank Mandiri selama tahun 2020 melakukan pencadangan modal atau CKPN sebesar Rp22,89 triliun atau naik 89,6 persen dari periode 2019 mencapai Rp12 triliun.
Sementara itu, NPL keseluruhan secara konsolidasi pada 2020 mencapai 3,09 persen atau naik dibandingkan tahun 2019 mencapai 2,33 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya memperpanjang masa restrukturisasi hingga 2022. Kebijakan itu, lanjut dia, akan memberikan waktu lebih panjang bagi perbankan untuk melakukan penyelamatan lanjutan bagi debitur terdampak.
Ia mengharapkan dengan relaksasi dari regulator itu memperkecil potensi NPL dan pelaku usaha bisa cepat pulih kembali.
Sementara itu, tren permintaan restrukturisasi kredit sejak tiga bulan terakhir sudah melandai karena sebagian besar pengajuan sudah diproses enam bulan pertama sejak OJK mengeluarkan POJK 11/2020.
“Setiap bulan kami monitor perkembangan cash flow debitur tersebut,” imbuhnya.
Baca juga: OJK catat restrukturisasi kredit capai Rp971,1 triliun
Baca juga: OJK proyeksi kredit tumbuh 6-7 persen 2021
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021