Tahun lalu Katerina Stefanidi lantang sekali meminta agar Olimpiade Tokyo ditunda, tetapi sekarang peraih medali emas lompat tinggi putri OIimpiade itu menjadi salah satu atlet yang paling kencang meminta Olimpiade tetap digelar tahun ini di tengah kekhawatiran rakyat Jepang terhadap pandemi.“Seandainya Olimpiade harus diadakan tanpa penonton atau dengan penonton yang lebih sedikit di stadion, saya kira saat ini atlet dan dunia olah raga mau menerima itu,"
"Saya kira situasi saat ini jauh berbeda dari yang kita hadapi tahun lalu di mana kita sungguh tak tahu apa-apa soal virus corona. Kalaupun kita harus menggelar Olimpiade tanpa penonton, saya akan memilih itu daripada sama sekali tidak ada Olimpiade," kata dia kepada kantor berita Kyodo.
Atlet Yunani itu yakin mayoritas dari 15.000 atlet yang akan bertanding di Tokyo sudah berubah pikiran bahwa Olimpiade tak boleh ditunda lagi, apalagi dibatalkan.
Dia yakin 80 persen atlet World Athletics yang dulu mendukung penundaan, akan balik menginginkan Olimpiade Tokyo digelar Juli nanti sebagaimana sudah dijadwalkan setelah dimundurkan dari tengah tahun lalu akibat pandemi.
Survei opini publik Jepang yang diadakan Japan Press Research Institute Sabtu pekan lalu memang menunjukkan 38 persen responden menginginkan Olimpiade Tokyo batal dan 34 persen lainnya menginginkan kembali ditunda.
Namun seperti Stefanidi, kebanyakan atlet mengharapkan Jepang tak goyah dengan tetap menyelenggarakan Olimpiade, apa pun caranya.
"Saya pribadi akan kecewa berat. Banyak rekan-rekan satu tim saya akan kecewa berat karena melewatkan satu kejuaraan besar mengingat saya menganggap ini tak boleh ditunda lagi,” kata bintang sepak bola putri Amerika Serikat peraih Ballon d'Or 2019, Megan Rapinoe, yang timnya meraih medali emas pada empat Olimpiade termasuk Olimpiade London 2012, selain juga berstatus juara dunia.
Mo Farah yang meraih medali emas lari 5.000 meter dan 10.000 meter putra pada Olimpiade 2012 dan 2016 juga ingin Olimpiade Tokyo jalan terus.
"Saya kira kebanyakan orang karir ingin Olimpiade ini jalan terus dan ambil bagian dalam Olimpiade. Yang terpenting adalah tetap aman dan melihat apa yang bisa ditempuh negara," kata Farah seperti dikutip Reuters.
"Yang mereka bilang pada kami adalah pada dasarnya semua orang akan memperoleh injeksi (vaksin) COVID," sambung pelari Inggris yang berusaha mempertahankan medali emas 10.000 meter putra di Tokyo setelah tahun lalu menghabiskan waktu untuk fokus ke maraton.
Harapan Farah dikuatkan oleh Presiden World Athletics Sebastian Coe yang menegaskan ada tekad membaja dari semua pihak agar Olimpiade tetap digelar tahun ini.
Tekad kuat itu didasari fakta bahwa atlet kini sudah lebih tahu bagaimana menghadapi pandemi dibandingkan dengan ketika Olimpide ditunda tahun lalu, selain juga karena sudah hadirnya vaksin COVID-19.
"Pertama sudah ada vaksin dan kita bahkan sudah sangat jauh memikirkan tahap ini tahun lalu," kata Coe. Dia ingin memastikan lagi kepada rakyat Jepang bahwa “kami serius sekali menangani hal ini dengan fokus keras kepada protokol COVID.”
Baca juga: Florida tawarkan diri gantikan Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade
Baca juga: Dewan Olimpiade bahas masalah Tokyo tapi pastikan bukan pembatalan
Selanjutnya: Tak ada Plan B
Tak ada Plan B
Coe juga menjamin rakyat Jepang yang mengkhawatirkan atlet dan orang mancanegara yang tiba di Tokyo bisa membawa virus corona, bahwa mereka siap menggelar Olimpiade walau sederhana. “Seandainya Olimpiade harus diadakan tanpa penonton atau dengan penonton yang lebih sedikit di stadion, saya kira saat ini atlet dan dunia olah raga mau menerima itu," kata Coe.
Lagi pula, bagian terbesar dari miliaran manusia di dunia tak akan menyaksikan Olimpiade di stadion, melainkan di rumahnya. "Saya kira Olimpiade bisa menyemangati orang karena memang sudah menjadi bagian yang sungguh penting dalam rangka kembali ke keadaan normal,” kata Coe.
Jaminan Coe ini dipertegas IOC dan pemerintah Jepang. "Tiada satu pun alasan untuk mempercayai Olimpiade di Tokyo tak akan dibuka pada 23 Juli di Stadion Olimpiade di Tokyo. Itulah mengapa tak ada Plan B dan inilah alasan kami bertekad penuh menyelenggarakan Olimpiade dengan aman dan berhasil," kata Presiden IOC Thomas Bach.
Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengamini Bach dengan menyatakan Tokyo sama sekali tak berniat menunda atau apalagi membatalkan Olimpiade.
Tetapi untuk menjawab kekhawatiran rakyat Jepang, IOC bertekad untuk memvaksinasi semua atlet yang bakal hadir di Tokyo dan menerapkan protokol kesehatan baru yang mungkin lebih ketat.
Dalam soal vaksin ini, CEO Tokyo 2020 Toshiro Muto berharap keberhasilan vaksinasi COVID-19 di seluruh dunia bisa memicu optimisme bakal terselenggaranya Olimpiade yang aman dan berhasil.
“Begitu vaksinasi dilaksanakan luas di AS dan Eropa, saya kira tidak diragukan lagi akan berpengaruh positif kepada Olimpiade,” kata Muto yang berharap faktor vaksin dan langkah membendung pandemi memupus kekhawatiran publik Jepang.
Panitia sendiri sudah menyiapkan protokol kesehatan baru yang diberlakukan terhadap semua yang berkepentingan dengan Olimpiade begitu ajang multicabang ini digelar.
Pedoman baru itu bakal diumumkan beberapa pekan ke depan dan di antaranya mengatur bagaimana atlet dan ribuan orang lainnya keluar masuk Tokyo dengan aman.
“Saya kira kami saat ini akan mulai melihat perubahan dalam pendekatan bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat,” kata juru bicara Komite Paralimpiade Internasional (IPC) Craig Spence kepada Reuters.
Panitia mengharapkan pedoman baru itu mengubah narasi dan menjawab keperihatinan atlet serta publik bahwa faktor-faktor semacam vaksin, bahwa Olimpiade akan digelar musim panas dan ada waktu untuk membuat rencana, menegaskan perhelatan ini akan jalan terus.
“Sekarang penting mengkomunikasikan hal ini sampai mereka tahu bahwa kami tidak tinggal diam selama 10 bulan terakhir. Kami justru sudah membuat rencana yang matang sekali,”kata Spence.
Baca juga: Komite Olimpiade ingin periksa alasan kekhawatiran publik Jepang
Baca juga: IOC tidak mendukung "atlet lompati antrean" vaksin
Selanjutnya: Kemenangan umat manusia
Kemenangan umat manusia
Tentu saja protokol baru itu melibatkan aturan jaga jarak sosial di Kampung Atlet dan tes COVID-19 yang ketat, namun tidak ada ketentuan wajib karantina selama dua pekan begitu peserta tiba di Tokyo.
Belajar dari Australian Open tahun ini, wajib karantina malah membuat atlet mengalami berbagai masalah. “Sangat tak layak meminta atlet berada dalam situasi yang membuat mereka tak bisa berlatih sebelum dua pekan sebelum berkompetisi,” kata Muto.
Dari tekad mereka tersebut, terlihat ada konsensus besar bahwa Olimpiade Tokyo tetap digelar tahun ini.
Meskipun begitu, kekhawatiran rakyat Jepang yang saat ini menjalani keadaan darurat akibat melonjaknya kasus infeksi, tidak boleh dikesampingkan. Namun, sebagaimana diutarakan anggota senior IOC Dick Pound, IOC memang ingin mengetahui alasan di balik kekhawatiran rakyat Jepang itu. “Saya ingin tahu alasannya dan ingin menjawabnya,” kata Pound.
Namun dia memohon rakyat Jepang menjaga perasaan atlet yang sudah bertahun-tahun berlatih agar bisa berkiprah pada ajang olah raga terbesar ini, apalagi vaksin yang tahun lalu diharapkan Jepang sudah tersedia.
“Vaksin sudah dibuat dan warga dunia tengah divaksinasi. Risiko infeksi virus corona bisa berkurang,” tandas Pound yang mengisyaratkan nasib Olimpiade Tokyo akan diumumkan sekitar Mei.
Jika dibandingkan saat Olimpiade Tokyo 1964, struktur masyarakat` Jepang saat ini memang berbeda dengan publik Jepang ketika Olimpiade tersebut. Saat itu Olimpiade dianggap sebagai kesempatan membangkitkan kebanggaan nasional setelah merasa masih terpuruk selama 20 tahun akibat kalah Perang Dunia Kedua.
Saat itu, seperempat penduduk Jepang berusia muda dan segelintir saja yang berusia di atas 65 tahun sehingga Olimpiade terlihat lebih emosional dibandingkan sekarang.
Olimpiade 1964 juga menjadi penegas untuk bangkitnya Jepang yang perekonomiannya saat itu menduduki keempat terbesar di dunia. Empat tahun setelah Olimpiade 1964 ekonomi Jepang menjadi yang terbesar kedua di dunia di bawah AS sebelum disalip China.
Sebaliknya sekarang, penduduk Jepang umumnya berusia lanjut yang relatif tidak terlalu membutuhkan Olimpiade untuk mengangkat posisi negaranya yang memang sudah tinggi.
Tetapi opini publik itu ternyata berbeda dengan pandangan kalangan bisnis yang menurut jajak pendapat NHK belum lama ini 60 persen perusahaan Jepang mendukung Olimpiade digelar tahun ini. Mereka mungkin sudah menaksir dampak positif Olimpiade terhadap perekonomian yang biasanya memang besar, apalagi saat masa sulit seperti sekarang, paling tidak mengangkat sentimen positif.
Yang tak kalah penting, selain yang utama demi dunia olah raga itu sendiri, Olimpiade Tokyo bisa menjadi simbol kemenangan amat manusia dalam mengakhiri pandemi.
Baca juga: Presiden IOC tegaskan komitmen tetap gelar Olimpiade Tokyo
Baca juga: Panitia Tokyo 2020 bilang nasib Olimpiade kini ada di tangan AS
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2021