• Beranda
  • Berita
  • Netfid nilai revisi UU Pemilu belum perlu di tengah situasi pandemi

Netfid nilai revisi UU Pemilu belum perlu di tengah situasi pandemi

28 Januari 2021 20:42 WIB
Netfid nilai revisi UU Pemilu belum perlu di tengah situasi pandemi
Dokumentasi - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kedua kanan) bersama Pelaksana tugas (Plt) Ketua KPU Ilham Saputra (kedua kiri), Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad (kiri) dan Ketua Bawaslu Abhan (kanan) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021). Rapat tersebut membahas evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

Energi kita sebaiknya kita curahkan sepenuhnya menghadapi pandemi COVID-19

Ketua Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Dahliah Umar menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak perlu meneruskan revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum pada Prolegnas tahun 2021 karena masih belum diperlukan, apalagi di tengah situasi pandemi COVID-19.

UU Pemilu masih bisa diwadahi dalam undang-undang pemilu sebelumnya yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Energi kita sebaiknya kita curahkan sepenuhnya menghadapi pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai. UU Pemilu sebelumnya masih kompatibel dalam kondisi sekarang," ujar Dahliah, dalam pernyataannya, di Jakarta, Kamis.

Selain penanganan wabah COVID-19, menurut dia, agenda pemulihan ekonomi nasional dirasa lebih penting daripada melakukan revisi UU Pemilu.

Ia mengatakan revisi UU akan membuat debat panjang di parlemen yang menguras energi dan bisa mengalihkan fokus utama bangsa.

"Jika tujuannya adalah mengatur keserentakan pemilu, UU yang ada sudah mengaturnya, yakni serentak pada tahun 2024," ujar Dahliah.

Bahkan, kata dia, proses transisi menuju 2024 telah disiapkan dan diatur oleh UU, apalagi Pilkada 2024 sebagaimana diamanatkan UU Nomor 10 Tahun 2016 belum dilaksanakan.

Dahliah menyebutkan keserentakan dalam satu tahun pemilu justru dapat meraih dua keuntungan sekaligus, yakni kontestasi dan konflik politik pemilu hanya terjadi dalam satu tahun pemilu saja, yakni 2024, dan kedua akan menghemat anggaran yang sangat signifikan.

Selain itu, kata dia, jika DPR meneruskan pembahasan revisi UU Pemilu akan membuat produk legislasi yang tidak sempurna.

"Membuat undang-undang yang terburu-buru tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menyimpan masalah. Pada akhirnya yang muncul adalah gugatan uji materi ke MK yang tak kunjung selesai," ujar pegiat pemilu tersebut.

Pada sisi lain, Dahliah mengingatkan bahwa revisi UU Pemilu yang terburu-buru juga memiliki sejumlah konsekuensi yang berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, seperti pengulangan situasi politik saat pembahasan perubahan UU Pemilu dengan sejumlah isu krusial, seperti sistem pemilu, sistem konversi suara, ambang batas parlemen, maupun soal pencalonan presiden akan menemui jalan buntu.

"Pasti ada perdebatan panjang antarfraksi. Karena tidak ada kata sepakat, produk legislasinya nanti akan abai terhadap sejumlah isu krusial," kata Dahliah.

Karena itu, Dahliah menyarankan terhadap isu-isu krusial pengaturan pemilu, sebaiknya masih tetap menggunakan apa yang diatur dalam UU yang ada, yakni UU Nomor.7 Tahun 2017, sementara terhadap isu-isu krusial lain yang tidak diatur dalam UU masih dapat diatur dalam peraturan-peraturan di bawah UU.

"Bahkan, jika mendesak dan diperlukan pengaturan setingkat UU, perppu dapat diterbitkan untuk menjadi alternatif pilihan," ujar Dahliah pula.
Baca juga: Akademisi nilai revisi UU Pemilu tidak mendesak dilakukan
Baca juga: Pimpinan Baleg: Revisi UU Pemilu agenda krusial DPR 2021

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021