• Beranda
  • Berita
  • Peneliti: pemerintah perlu pertimbangkan efektivitas vaksin mandiri

Peneliti: pemerintah perlu pertimbangkan efektivitas vaksin mandiri

29 Januari 2021 17:37 WIB
Peneliti: pemerintah perlu pertimbangkan efektivitas vaksin mandiri
Proses penyuntikan vaksin Sinovac kepada salah seorang tenaga kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saiful Anwar Malang, Jawa Timur, Jumat (29/1/2020). (ANTARA/HO-Humas RSUD Saiful Anwar Malang/VFT)

Dari sisi permintaan, salah satu yang penting diperhatikan adalah kesiapan pihak swasta dalam mengeluarkan anggaran untuk karyawannya....

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas dari kebijakan vaksin mandiri dengan meninjau baik sisi permintaan maupun pasokan vaksin.

"Dari sisi permintaan, salah satu yang penting diperhatikan adalah kesiapan pihak swasta dalam mengeluarkan anggaran untuk karyawannya. Kalau pemerintah akhirnya mengharuskan vaksin mandiri ditanggung perusahaan, tentu hal ini akan memberatkan usaha mikro yang kemungkinan besar usahanya terdampak pandemi," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2017-2018, terdapat 107 juta tenaga kerja yang bekerja pada usaha mikro.

Baca juga: JK: Vaksin COVID-19 mandiri percepat capaian target vaksinasi nasional

Selain itu, jika perusahaan diharapkan mencari sendiri pasokan vaksin maka kemungkinan besar hanya usaha besar yang mampu melakukannya. Sayangnya, karyawan perusahaan besar kurang dari 4 juta orang sehingga kontribusinya terhadap target vaksinasi juga tidak terlalu signifikan.

"Di sinilah efektivitas vaksin mandiri untuk karyawan perlu diperhitungkan. Kalau vaksin kemudian diizinkan untuk dijual ke publik dengan harga yang ditetapkan pemerintah, ini bisa terlihat seperti pemerintah ingkar janji mengenai vaksin gratis. Selain itu, penentuan harga vaksin pun bisa membuka kontroversi baru," imbuhnya.

Andree melanjutkan Survei Penerimaan Vaksin Covid-19 di Indonesia yang dilakukan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hanya sekitar 22 persen masyarakat Indonesia yang bersedia membayar vaksin dan preferensi harganya pun masih di bawah harga kebanyakan vaksin yang ada sekarang.

"Mematok harga penjualan vaksin untuk umum bisa memperkuat persepsi kesenjangan antara yang mampu dan tidak mampu. Jadi kalau kebijakan vaksin yang awal mulanya berbayar, kemudian digratiskan, dan sekarang balik lagi ke berbayar, perlu perencanaan yang sangat matang supaya tidak timbul kesan bahwa pemerintah gamang dan malah memperluas resistensi masyarakat terhadap vaksin," jelasnya.

Baca juga: Jubir: Vaksin COVID-19 untuk cegah orang jadi sakit bukan penularan

Dari sisi pasokan, Andree menilai pasokan vaksin dalam tahap awal ini juga masih belum mulus. Antrean pemesanan vaksin Covid-19 cukup panjang. Sementara itu, kebanyakan produsen masih dalam proses meningkatkan kapasitas produksinya.

Saat ini pemerintah sudah memesan vaksin untuk 164 juta jiwa dengan opsi menambah 167 juta lagi dari berbagai produsen. Dengan demikian, pesanan yang sekarang terkonfirmasi pun sebenarnya masih kurang dari target vaksinasi, sebanyak 181 juta.

"Jika adanya vaksin mandiri menyebabkan pemerintah ‘keluar dari antrean’ dengan membatalkan pesanan atau tidak menjalankan opsi maka tidak akan mudah mencari pasokan baru jika terjadi kekurangan. Jadi kalaupun vaksin mandiri diperbolehkan, pemerintah sebaiknya tetap mempertahankan pesanan vaksin yang sudah ada demi memastikan adanya pasokan. Dengan kata lain, vaksin mandiri sebaiknya menjadi kapasitas tambahan, bukan pengganti vaksin gratis," ungkapnya.

Baca juga: WHO minta negara-negara bersabar menunggu pasokan vaksin COVID-19

Andree mengatakan dampak positif melibatkan swasta dalam vaksinasi mandiri adalah bisa mengurangi beban APBN sambil melipatgandakan jangkauan vaksinasi.

Jika distribusi tadinya hanya melibatkan puskesmas, rumah sakit pemerintah dan BUMN, lanjutnya, maka penambahan kapasitas swasta tentu bisa memperluas dan mempercepat terlaksananya vaksinasi.

Semakin banyak yang divaksinasi dan secepat mungkin pelaksanaannya, jumlah pasien yang perlu perawatan rumah sakit akan menurun. Paling tidak, ini akan mengurangi beban biaya pengobatan Covid-19 yang ditanggung oleh Kementerian Kesehatan.

"Akan tetapi, sebaiknya pemerintah jangan mencoba menghemat dengan mengurangi pemesanan vaksin, kalaupun vaksin mandiri diizinkan. Pertimbangannya seperti yang tadi sudah dibahas adalah belum pastinya permintaan (demand) vaksin mandiri dan pasokan (supply) vaksin global," katanya.

Andree mengingatkan yang terpenting dalam program vaksinasi massal, baik gratis maupun mandiri, adalah bagaimana memastikan kekebalan populasi benar-benar tercapai, karena tidak ada vaksin yang efektif 100 persen.

Selain memastikan pelaksanaan protokol kesehatan untuk terus menekan penularan, pemerintah juga perlu memantau tingkat kekebalan populasi secara berkala.

"Vaksin bisa mempercepat pengendalian pandemi hanya jika kita tidak lengah dan terus melakukan pelaksanaan dan pemantauan berbagai kebijakan pengendalian pandemi secara konsisten," ingatnya.

Ia mengemukakan sebelum membicarakan vaksin mandiri, perlu diingat bahwa vaksinasi hanyalah salah satu alat pengendalian pandemi.

"Jika berbagai kebijakan pengendalian pandemi yang sudah ada tidak diimplementasikan secara konsisten,  keberadaan vaksin pun mungkin tidak terlalu berdampak terhadap upaya menekan laju penularan dan upaya pemulihan ekonomi," pungkas Andree.

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021