"Itu kombinasi yang saya lihat nyata dan bisa diterapkan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Meskipun dinilai efektif dalam menerapkan protokol kesehatan, Defriman mengatakan hal itu belum tentu bisa serta merta diterapkan di semua daerah. Sebab, penegakan kebijakan yang dibarengi penegakan hukum harus memerhatikan karakter masyarakat yang berbeda-beda.
Baca juga: Epidemiolog: Informasikan kejadian pascaimunisasi pada masyarakat
Di suatu daerah bisa saja itu akan efektif, namun di wilayah lain belum tentu bisa, jadi bumerang bagi pemerintah dengan adanya penegakan aspek hukum.
Defriman yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unand tersebut menilai belum maksimalnya penerapan protokol kesehatan di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya tidak ada persiapan perencanaan yang baik dalam mengatasi pandemi.
"Tantangan pandemi saat ini ialah perilaku. Sementara perilaku ini sulit dibatasi," katanya.
Dari berbagai macam cara yang dilakukan pemerintah untuk membatasi pergerakan masyarakat, selama itu pula individu-individu mengakalinya.
Sebagai contoh, pemerintah membatasi lonjakan masyarakat saat liburan melalui kebijakan jalur transportasi udara. Namun, masyarakat tetap mencari cara agar bisa liburan melalui jalur darat.
"Itulah dilemanya," ujar Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Provinsi Sumatera Barat tersebut.
Baca juga: Pandemi berakhir bila masyarakat disiplin terapkan protokol kesehatan
Baca juga: Epidemiolog: Ketersediaan vaksin bukan berarti abai protokol kesehatan
Baca juga: Ahli: Perlu pengawasan PSSB dalam penanganan COVID-19
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pusat harus selaras dengan pemerintah daerah. Apalagi, berbicara pandemi bukan hanya perkara suatu negara, namun melibatkan banyak negara.
"Makanya saya tidak setuju mengenai pembatasan satu atau dua pulau saja saat pandemi," ucapnya.
#satgascovid19
#ingatpesanibupakaimasker
#vaksincovid19
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021