2021 jadi tahun pandemi hoaks vaksin

30 Januari 2021 11:20 WIB
2021 jadi tahun pandemi hoaks vaksin
Tangkapan layar percakapan melalui WhatsApp yang menyatakan vaksin COVID-19 buatan Sinovac mengandung bahan-bahan berbahaya seperti boraks, formalin dan merkuri. ANTARA.
"Umumnya, orang kini terpengaruh medsos. Harus lebih sabar menghadapi, padahal mereka berpendidikan sarjana. Memang tidak mudah, banyak alasan untuk membantah," kata mantan Menteri BUMN, H Dahlan Iskan, dalam catatannya melalui DI's Way pada 7 Januari 2021.

Bahkan, Dahlan Iskan yang juga mantan bos Harian Jawa Pos itu mengaku sudah menjelaskan satu per satu pada setiap keraguan terhadap vaksin, bahkan dengan argumen telak. "Tapi satu persoalan selesai dan tak terbantahkan, maka keraguan kedua pun muncul, dijelaskan lagi, dan terus muncul keraguan lain, terus begitu," katanya.

Ending keraguan itu tak jarang dibumbui alasan ayat-ayat Alquran. "Sebagai lulusan madrasah aliah, saya bisa saja menjawab. Akan tetapi, kalau perdebatan soal ayat-ayat Alquran, diam itu lebih baik daripada banyak menguras energi," katanya.

Solusinya, keputusan harus diambil pemerintah. "Soal lingkaran medsos itu, bukan hanya problem Indonesia. Itu problem seluruh dunia, sampai Paus di Vatikan pun dipaksa harus mengeluarkan fatwa 'halal' untuk vaksin," katanya.

Bahkan, di Amerika pun sampai terjadi sabotase vaksin yang justru dilakukan apoteker dengan pengalaman 23 tahun menjadi apoteker. Akhirnya, malam tahun baru 2021, apoteker Stephen Brandenburg pun ditangkap. Dia juga dipecat dari rumah sakit, tempatnya bekerja.

"Kejadian itu diketahui teknisi rumah sakit itu. Ia mengaku dengan sengaja mengeluarkan vaksin dari tempat penyimpanan pada malam Natal agar rusak. Brandenburg tidak percaya vaksin itu aman. Alasannya, bisa merusak DNA pemakainya, padahal penjelasan ilmiah sudah disebarluaskan bahwa vaksin tidak akan merusak DNA manusia," katanya.

Begitulah di negara semaju Amerika pun ada yang antivaksin buatan Amerika, sedang yang antivaksin Tiongkok juga lebih banyak, sampai membawa-bawa kitab suci. "Yang seperti itu membuat energi habis untuk mengurusnya, padahal pandemi ini harus selesai, apalagi tidak ditemukan cara lain untuk mengatasi, kita berpacu dengan waktu dan nyawa," katanya.

Toh, Presiden Joko Widodo pun sudah "mengejar waktu" Covid-19 itu dengan memesan 329 juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac, Tiongkok (125 juta lebih), Pfizer, Jerman-AS (50 juta), Novavax, AS-Kanada (50 juta), Covax GAVI--kerja sama multilateral WHO-Aliansi Vaksin Dunia/GAVI oleh 171 negara--(54 juta), dan AstraZeneca, Inggris (50 juta), sedangkan Vaksin Merah Putih, produk RI masih akhir Maret atau awal April 2021 dan perlu waktu lagi untuk uji klinis.

Ya, kalau 2020 dapat dikatakan sebagai era Pandemi Covid-19 mencengkeram dunia, maka tahun 2021 pun dapat dikatakan sebagai era Pandemi Vaksin Covid-19. Bahkan, data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan peredaran hoaks/hoax soal vaksin COVID-19 melonjak setelah Program vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari 2021.

Sejak awal pandemi masuk ke Indonesia mulai Maret 2020 hingga 26 Januari 2021 tercatat 1.387 isu hoaks yang tersebar di dunia maya, namun sejak ada program vaksinasi justru hoaks mencapai ratusan per hari, misalnya pada 26 Januari 2021 ada 474 isu hoaks dari 1.000 sebaran di pijakan dijital.

Salah satu isu yang beredar adalah hoaks adanya alat pelacak barcode di vaksin Covid-19, seperti yang disinggung Dahlan Iskan. Faktanya, barcode pada kemasan itu untuk melacak distribusi vaksin, bukan untuk pelacakan tubuh orang yang disuntik vaksin Covid-19.

Hoaks lain yang cukup "ngeri" antara lain: "Dokter di Palembang tewas setelah divaksin corona" (25/1), "Indonesia tidak boleh gugat efek samping vaksin Covid-19" (24/1), "Pria pingsan dan Kasdim meninggal setelah divaksin Covid-19" (21/1), "Moeldoko sebut Jokowi pakai vaksin berbeda" (13/1), "Jawa-Bali lockdown dua minggu" (9/1), dan sebagainya.

Kenali dan lawan Hoaks
Bahkan, seperti di negara lain, justru tenaga kesehatan (nakes) bisa termakan informasi bohong (hoaks) hingga takut untuk menjalani vaksinasi Covid-19.

"Banyak nakes termakan hoaks. Bukan hanya nakes, orang-orang pintar termakan hoaks juga ya, mungkin karena mereka terlalu percaya dengan luar negeri yang seolah-olah itu benar, padahal belum tentu," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Hanif, di Banda Aceh (29/1/2021).

Setelah menjalani penyuntikan vaksin Covid-19 dosis kedua bersama dengan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, di RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh, Hanif masih mendapati nakes yang takut terhadap vaksinasi, karena sudah terpapar informasi hoaks, seolah-olah orang selesai disuntik vaksin langsung mendapat efek samping yang fatal.

Ya, dampak pandemi hoaks vaksin itu tidak tanggung-tanggung, meski bisa jadi ada "perang dagang" vaksin di baliknya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat informasi hoaks mengenai vaksin menyebabkan 30 persen masyarakat Indonesia masih meragukan keamanan dan kehalalan vaksin.

"Dampaknya 30 persen masyarakat Indonesia meragukan keamanan dan kehalalan vaksin. Berita hoaks itu 90,3 persen tersebar di berbagai platform media massa maupun sosial, termasuk soal vaksin Covid-19," kata Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Prof Dr Widodo Muktiyo, di Jakarta (27/1/2021).

Kementerian Komunikasi dan Informatika melansir bahwa pemberitaan itu sengaja disebar, karena maraknya. Oleh karena itu, pihaknya berupaya melakukan diseminasi informasi penanganan Covid-19 seluas mungkin dengan menggunakan saluran TIK, di antaranya pengembangan aplikasi PeduliLindungi, website covid19.go.id, dan integrasi sistem data gugus tugas.

Pihaknya juga memanfaatkan WhatsApp covid19.go.id, kemudiaan penyediaan pusat panggilan 112, 117, dan 119. "Kami melakukan program monitoring dan penanganan hoaks, lalu diseminasi informasi dan penyediaan internet khusus," katanya.

Senada dengan itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani, menyatakan hoaks itu sudah ada dari dulu, namun penyebaran di era digital memang menjadi sangat masif dan biasanya terjadi karena ada event, kejadian bencana, dan pandemi seoerti saat ini.

"Berita hoaks itu terdapat beberapa ciri yang bisa dikenali, diantaranya perhatikan keaslian foto dan keterangan yang disertakan. Sebab, pada banyak kasus, foto berbeda digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Ada juga kejadian sudah lama namun dibuat seolah aktual," katanya di Jakarta (26/1/2021).

Selain itu, masyarakat diimbau untuk hati-hati pada judul yang provokatif, mencermati alamat situs, mengecek keaslian foto, dan membandingkan dengan media mainstream yang biasanya menampilkan informasi dengan narasumber yang kredibel, bahkan Kominfo juga sudah lama menggandeng LKBN ANTARA untuk melawan hoaks dan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, yang diharapkan menjadi rujukan informasi terpercaya bagi masyarakat.

Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah mengatur sanksi pidana bagi penyebar berita bohong dalam undang-undang. "Kalau penyebaran hoaks ditemukenali secara sengaja sudah pasti akan kita kejar lewat data-data log file mesin ais Kominfo. Tapi jika ada masyarakat yang tidak tahu, namun ikut menyebarkan, itu juga merupakan tindakan yang berbahaya yang ada sanksinya. Kalau ada masyarakat yang memakai nama palsu pun kita tahu secara teknologi," katanya.

Dengan demikian, gerakan melawan hoaks harus dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat, media massa, dan para ahli di bidang hukum serta teknologi, tentu peran literasi medsos juga sangat strategis, mengingat ketidaktahuan tentang medsos itu merata, baik masyarakat yang terdidik maupun tidak terdidik, sehingga dampaknya menyeluruh.
 

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021