Wakil Direktur Kampanye Regional Amnesty International, Ming Yu Hah, mengatakan pemutusan sambungan telepon dan Internet dapat mengancam keselamatan masyarakat, khususnya di tengah upaya menanggulangi pandemi COVID-19.
"Berbagai laporan pemutusan sambungan komunikasi dapat mengancam kehidupan masyarakat di tengah krisis, mengingat Myanmar saat ini masih menghadapi pandemi, dan adanya konflik internal yang melibatkan angkatan bersenjata, warga sipil di beberapa daerah ikut terancam," kata Yu Hah lewat pernyataan tertulis yang diterbitkan Amnesty, Senin (1/2).
"Oleh karena itu, penting bagi militer untuk segera menyambung kembali akses telepon dan Internet," ujarnya.
Menurut catatan dan laporan yang diterima Amnesty, pemutusan sambungan telepon dan Internet terjadi di beberapa wilayah, termasuk di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, serta Yangon, kota terbesar di Myanmar, juga di negara bagian Shan dan Kachin, Mandalay, dan Sagaing.
Tentara Myanmar pada Senin pagi mengkudeta pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh pemimpin de facto Aung San Suu Kyi atas dugaan kecurangan pada pemilihan umum 8 November 2020.
Militer, lewat pernyataan resmi yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD), menyebutkan pemerintah gagal menyelesaikan masalah sengketa daftar pemilih dan meredam aksi protes massa. Oleh karena itu, status darurat pun ditetapkan oleh militer demi mencegah perpecahan masyarakat, kata militer.
Menurut militer, penetapan status darurat sejalan dengan isi Pasal 417 Undang-Undang Dasar 2018.
"Untuk mendalami sengketa daftar pemilih dan mengambil langkah selanjutnya, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif akan diserahkan ke Panglima Militer sebagaimana diatur oleh Pasal 418 ayat (a) Konstitusi 2018. Status darurat ini berlaku di seluruh daerah selama satu tahun, mulai dari tanggal status ini diumumkan sebagaimana aturan yang berlaku," kata pihak militer.
Kekuasaan tertinggi di Myanmar saat ini dipegang oleh Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Walaupun demikian, beberapa organisasi HAM dunia, termasuk Amnesty International, mengatakan pernyataan itu belum menjelaskan alasan penangkapan Suu Kyi, serta para pejabat pemerintahan dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan aktivis, oleh militer saat kudeta berlangsung Senin pagi.
Yu Hah menuntut militer menjelaskan dasar hukum penangkapan Suu Kyi serta tahanan politik lainnya. Jika tidak ada pelanggaran hukum yang jelas, mereka harus dibebaskan, kata Yu Hah.
Tidak hanya itu, Yu Hah mengatakan militer wajib mengumumkan tempat mereka ditahan, dan menjamin para tahanan politik mendapatkan layanan kesehatan, akses komunikasi, serta pendampingan hukum dari pengacara yang mereka pilih.
"Militer Myanmar harus mengklarifikasi dasar hukum mereka (Suu Kyi, para pejabat, dan aktivis, red) ditangkap. Mereka juga harus menjamin hak-hak mereka yang ditangkap terpenuhi," kata Yu Hah sebagaimana dikutip dari siaran tertulis Amnesty International.
Bagi Amnesty, kudeta merupakan bentuk tekanan militer terhadap pemerintahan demokratis dan kehidupan warga sipil di Myanmar.
"Penangkapan politisi, aktivis, dan pembela HAM mengirim pesan bahwa otoritas militer tidak akan toleran terhadap kritik dan oposisi," kata Amnesty.
Beberapa hari sebelum kudeta, ketegangan antara perwakilan militer dan partai penguasa NLD memuncak khususnya menjelang pembukaan sidang perdana anggota dewan terpilih, yang mayoritas berasal dari Liga Nasional untuk Demokrasi.
Militer bersama afiliasinya, Partai Solidaritas Bersatu dan Pembangunan (USDP), menuduh Komisi Pemilihan Umum Myanmar mencurangi daftar pemilih pemilu 8 November 2020.
Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) pada 15 November 2020 telah mengesahkan kemenangan Aung San Suu Kyi dan NLD pada pemilu. NLD menguasai 396 dari total 498 kursi di Majelis Rendah dan Majelis Tinggi Myanmar.
Baca juga: Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi ditangkap
Baca juga: ASEAN desak Piagam ASEAN ditegakkan dalam situasi politik Myanmar
Baca juga: PBB kecam aksi kudeta militer di Myanmar
Militer Myanmar merebut kekuasaan, menahan Suu Kyi
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021