Kudeta di Myanmar diperkirakan akan mengurangi minat perusahaan-perusahaan AS dan Barat dalam berinvestasi di negara tersebut dan mungkin akan mendorong beberapa perusahaan besar AS untuk menarik diri, kata pakar perdagangan dan analis pada Senin (1/2/2021).“Hati dan doa kami bersama rakyat Myanmar untuk penyelesaian yang cepat, damai, dan demokratis untuk krisis ini - yang tidak menghilangkan kemajuan ekonomi yang dibuat oleh rakyat Myanmar yang bekerja keras
Total perdagangan barang antara Myanmar dan Amerika Serikat berjumlah hampir 1,3 miliar dolar AS dalam 11 bulan pertama 2020, naik dari 1,2 miliar pada 2019, menurut data Biro Sensus AS.
Pakaian dan alas kaki menyumbang 41,4 persen dari total impor barang AS, diikuti oleh koper yang menyumbang hampir 30 persen, dan ikan yang menyumbang lebih dari empat persen, kata Panjiva, unit penelitian rantai pasokan S&P Global Market Intelligence.
Pembuat koper Samsonite dan pembuat pakaian milik pribadi LL Bean termasuk di antara importir besar, bersama dengan pengecer H&M dan Adidas, kata Panjiva.
Baca juga: Kudeta Myanmar timbulkan keraguan atas impor bahan bakar
Data investasi langsung AS tidak tersedia, kata kantor Perwakilan Dagang AS.
Tentara Myanmar pada Senin (1/2/2021) menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan memberlakukan keadaan darurat selama setahun, dengan mengatakan telah menanggapi apa yang disebut penipuan pemilu.
Langkah tersebut memicu kecaman dari para pemimpin Barat dan ancaman sanksi baru oleh pemerintah AS, dan menimbulkan pertanyaan tentang prospek satu juta pengungsi Rohingya.
Lucas Myers, analis Woodrow Wilson International Center for Scholars mengatakan kudeta itu akan memperburuk ketegangan dalam hubungan AS-Myanmar menyusul sanksi yang diberlakukan oleh Washington pada Desember 2019 dan akan semakin memperumit hubungan perdagangan.
Baca juga: PBB kecam aksi kudeta militer di Myanmar
“Dalam perdagangan, situasi Rohingya dan catatan hak asasi manusia Myanmar yang bermasalah membuat investasi kurang menarik bagi perusahaan Barat dibandingkan dengan China,” kata Myers.
William Reinsch, pakar perdagangan di lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional, mengatakan perusahaan-perusahaan AS dapat memilih untuk keluar dari Myanmar, mengingat perkembangan terbaru dan janji Pemerintahan Biden untuk lebih fokus pada hak asasi manusia.
Sementara beberapa perusahaan AS telah memindahkan pekerjaan dari China ke Myanmar dalam beberapa tahun terakhir untuk memanfaatkan upah yang lebih rendah, infrastruktur negara itu masih kurang, yang membuat investasi tidak berkembang pesat, tambahnya.
Baca juga: Biden ancam terapkan sanksi AS atas kudeta Myanmar
Sebagian besar pekerjaan AS berada di industri padat modal yang relatif rendah dan dapat dipindahkan dengan cukup mudah, kata Reinsch. "Ini bukan semikonduktor. Pabrik-pabrik ini relatif mudah didirikan,” ujarnya.
Presiden American Apparel & Footwear Association, Stephen Lamar, mengatakan banyak dari anggota kelompok perdagangan itu berbisnis di Myanmar dan menganggap kudeta itu sangat memprihatinkan.
“Kami mendesak pemulihan penuh dan segera atas hak dan institusi demokrasi,” katanya. “Hati dan doa kami bersama rakyat Myanmar untuk penyelesaian yang cepat, damai, dan demokratis untuk krisis ini - yang tidak menghilangkan kemajuan ekonomi yang dibuat oleh rakyat Myanmar yang bekerja keras.”
Seorang juru bicara H&M mengatakan perusahaannya sedang memantau peristiwa dan melakukan kontak dekat dengan pemasok, tetapi tidak memiliki rencana segera untuk mengubah strategi sumbernya. "Kami terus mengikuti perkembangan, tapi menahan diri dari berspekulasi tentang apa artinya ini bagi kami ke depan," kata pejabat itu.
Baca juga: Dewan Keamanan PBB diminta jatuhkan sanksi pada militer Myanmar
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021