Tahun 2021 menandai genap 70 tahun sejak migrasi besar-besaran orang Maluku ke Belanda pada periode tahun 1950 dan 1960an. Usai melewati masa pasca-imigrasi yang sulit, mereka pun membangun kehidupan di Belanda dan kini komunitas diaspora Indonesia di Belanda telah berkembang. ANTARA telah berbincang-bincang dengan Presiden Indonesia Diaspora Network Ebed Litaay, serta Direktur Museum Sejarah Maluku (Moluks Historich Museum) di Den Haag, Henry Timisela, terkait makna dari peringatan ini, harapan akan masa depan diaspora Indonesia di Belanda, serta meneropong hubungan masyarakat kedua negara.
Simak percakapan ANTARA, dengan dengan kedua sosok yang mewakili generasi ketiga dari mereka yang turut berlayar ke Belanda tujuh dekade yang lalu ini, dalam artikel International Corner berikut.
ANTARA: Bisa diceritakan bagaimana komunitas diaspora keturunan Maluku telah berkembang dalam 70 tahun ini?
Henry Timisela (HT): Sekarang telah ada tiga, bahkan empat generasi sejak para kakek nenek kami datang ke Belanda tanpa membawa apapun. Mereka tinggal di berbagai kota dan di sejumlah kompleks komunitas.
Setiap kompleks memiliki pusat kegiatan masing-masing, gereja, masjid dan sebagainya, yang memiliki peran besar dalam komunitas itu. Kami juga menyebutnya kumpulan, jadi orang-orang dari latar belakang yang sama di kampung mereka berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas bersama. Kebanyakan mereka terkonsentrasi di pusat kegiatan di kompleks-kompleks, di puluhan kota di mana diaspora Maluku tinggal.
Di sana selalu ada music, selalu ada makan-makan bersama, dan tarian kebudayaan, mereka terus menjaga itu. Namun kami juga melihat adanya koneksi terhadap Tanah Air, dengan Indonesia, terutama dengan Maluku, melalui Internet, di mana hal itu menjadi semakin kuat.
Ebed Litaay (EL): (Diaspora Maluku) Sangat terhubung dalam suka dan duka, dalam suka contohnya seperti berkumpul saat pesta perkawinan, tapi juga saat masa berduka seperti saat ada yang meninggal dunia. Sekarang juga karena media sosial dan Internet, hubungan dengan (mereka yang berada) di Indonesia, terutama di Maluku juga menjadi sangat erat. Ada dialog terkait apa yang terjadi di Maluku sekarang menjadi sangat up-to-date dan di sana bisa melihat kegiatan apa yang dilakukan oleh diaspora Maluku di Belanda, apa yang dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak di sana dan juga untuk menambah ilmu, pintu masuk ke Eropa misalnya beasiswa, anak-anak dari Maluku dapat datang dan dimentor oleh keluarga yang ada di Belanda.
ANTARA: Apakah arti peringatan 70 tahun ini bagi Anda?
HT: Saya rasa ini adalah sejarah yang personal karena kedua kakek dan nenek saya datang menggunakan kapal ke Belanda, mereka mengalami peperangan, penjajahan, jadi (peringatan) ini sangat personal bagi saya. Tapi, sebagai generasi ketiga dan kini melihat anak-anak saya sebagai generasi selanjutnya, saya meyakini sudah waktunya kita melihat sejarah dari perspektif yang berbeda, ini waktunya untuk mengubah narasi.
Contohnya bagi orang-orang (keturunan) Maluku karena latar belakang militer mereka, mereka cenderung melihat dari perspektif tentara Belanda, namun kita harus memberikan edukasi, melalui museum kami, bahwa contohnya ada perspektif revolusi Indonesia, atau agresi peperangan Belanda, jadi terdapat pandangan global terhadap Indonesia dan Belanda.
Saya rasa ini menjadi misi saya untuk mengubah narasi terkait perspektif yang berbeda-beda terhadap Maluku dan terhadap Indonesia […] generasi saya tumbuh besar di sini di Belanda, namun kami juga memiliki hati untuk masyarakat, hati untuk membangun, jadi saya rasa ini adalah perasaan yang baik dan positif terkait masa depan, untuk mengubah narasi, untuk mengubah perspektif dalam sejarah.
EL : Bagi saya, peringatan 70 tahun ini menyentuh rasa di hati karena generasi pertama, Opa dan Oma, datang ke sini dengan cerita yang sangat menyedihkan. Hidup mereka (telah menghadapi) banyak halangan […] tetapi di sisi lain juga takdir saya jadi bisa lahir dan besar di Belanda dan dapat banyak kesempatan, karena itu juga sebenarnya sangat berterima kasih untuk Opa dan Oma.
Dengan 70 tahun ini, memang bagus untuk melihat ke belakang, untuk tahu dan sadar dari mana kamu (berasal), tetapi jangan lupa, jangan hanya melihat ke belakang tapi harus lihat ke depannya dan salah satu yang saya harap dengan 70 tahun ini, yang tadi Bung Henry juga ceritakan, bahwa stigma-stigma yang ada terhadap orang Maluku bisa dihapuskan atau bisa ada cerita alternatif. Perspektif saya terkait 70 tahun itu, di hati bangga, senang dapat kesempatan juga.
Saya juga harap dengan 70 tahun ini, […] bisa membangun dialog supaya orang tahu bahwa orang Maluku bukan hanya yang ‘preman’ saja kesannya.
ANTARA: Untuk Museum Maluku sendiri, apakah ada kegiatan khusus yang akan dilakukan dalam rangka peringatan ini?
HT: Dari bulan Maret nanti hingga bulan November, di Museum Maluku akan ada pameran yang menampilkan seniman-seniman muda keturunan Maluku, dari generasi ketiga dan keempat. Akan dilibatkan juga generasi kedua, yang berusia 60 tahun ke atas, namun saya fokus pada generasi yang lebih muda, yaitu para fotografer dan sejumlah seniman. […] Kami berharap akan ada perwakilan dari pihak pemerintah Belanda yang akan turut membuka acara ini pada 23 Maret.
Pada bulan Desember akan ada pameran besar, dalam kerja sama dengan The indies Remembrance Center, di mana kami akan menceritakan sejarah diaspora Indonesia di Belanda dari tahun 1920 hingga 2020, jadi 200 tahun migrasi.
ANTARA: Menurut pandangan Anda, bagaimana persepsi masyarakat Belanda terhadap diaspora Indonesia?
EL: Antara masyarakat hubungannya sangat positif dengan masyarakat kita. Contohnya, jika orang Indonesia datang ke toko dan ditanya ‘kamu asal dari mana?’ lalu kita bilang dari Indonesia, (orang Belanda) bisa bilang ‘wah, saya ini (berkulit) putih, rambut pirang, mata biru, tetapi kakek saya itu pernah tinggal di Semarang’. Jadi immaterial culture, kalau orang Belanda kedatangan tamu dari luar negeri, sering diajak ke restoran makanan Indonesia karena di Belanda sudah menjadi budaya. Dari sisi itu sudah sangat dekat sekali. Tetapi tidak selalu begitu dari awal. Dari tahun-tahun 40 hingga 50an itu sebenarnya bisa dibilang secara diplomatis hubungannya dinamis.
ANTARA: Apakah ada perbedaan persepsi terhadap orang Indonesia, antara generasi muda dan generasi senior di Belanda?
EL: Ada perbedaan dan ada beberapa alasan dari perbedaan itu, generasi yang lebih tua banyak yang sempat lama tinggal di Indonesia, atau kebetulan ada darah Indonesia karena ibunya atau bapaknya orang kita jadi generasi mereka lebih hangat, mereka bahkan tahu makanan-makanan kita, kue mangkok, tahu telur, dan sebagainya, apa saja generasi yang lebih tua itu tahu.
[…] Generasi muda (di Belanda) masih kurang mengenal dengan Indonesia tapi masih tahu karena mendengar cerita-cerita dari kakek neneknya atau orangtuanya dan karena itu ada bedanya antar generasi.
Generasi yang lebih tua ya mungkin trauma dengan dekolonisasi, dengan periode tahun 1945 hingga 1950, periode 1955 harus pergi dari Indonesia, tetapi walaupun trauma tetap melihat masyarakat Belanda selalu positif terhadap Indonesia kalau sekarang ini.
ANTARA: Apa harapan anda bagi hubungan masyarakat Indonesia dan Belanda ke depannya?
HT: Saya melihat masa depan yang cerah dalam pertukaran personal stories karena jika kita saling bertukar kisah pribadi, kita akan memahami satu sama lain dengan jauh lebih baik. Saat saya tumbuh besar (di Belanda) tidak ada sejarah Indonesia di dalam buku sejarah Belanda dan itu tidak masuk akal, jadi kita harus melakukannya sendiri. Sebagai museum kami berupaya untuk membangun jembatan ke Indonesia dan menceritakan kisah kita sehingga saya harap akan ada pemahaman yang lebih baik.
EL: Saya berharap dengan ilmu-ilmu di bidang-bidang seperti arsitektur, manajemen air yang sangat terkenal, atau pertanian, perkebunan, kami sebagai diaspora bisa sangat membangun nusa dan bangsa.
Ada hard skills dan juga soft skills nya […] apa lagi dengan bonus demografi yang mulai 2030 nanti, saya rasa ini banyak potensi dan kesempatan untuk meningkatkan dan mengeratkan hubungan antara kedua negara.
Baca juga: Indonesia, Pakistan, dan upaya menjaga perdamaian
Baca juga: Dubes Korsel tempuh 1.000 kilometer lintasi Jawa promosikan budaya
Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2021