Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengingatkan media massa konvensional untuk terus berinovasi agar tak digilas oleh perubahan zaman.
Hal tersebut disampaikan Yasonna saat menjadi pembicara kunci pada Konvensi Nasional Media Massa Hari Pers Nasional 2021 yang berlangsung secara virtual, Senin.
"Media harus melakukan berbagai perubahan tayangan sehingga menjadi media yang berbeda. Saat orang jenuh dengan media konvensional, mereka kemudian mencari media alternatif yang sayangnya terkadang tidak memiliki kode etik dan tanggung jawab terkait pemberitaan yang baik dan benar," kata Yasonna.
Menurut dia, media sudah harus mulai mencari program inovatif dan segar, mengkreasi konten menjadi lebih menarik, melibatkan audiens secara daring dan luring, serta mengeksplorasi berbagai pendekatan baru dalam jurnalismenya.
Baca juga: Hadiah HPN 2021, 17.000-an wartawan dapat prioritas vaksinasi COVID-19
Baca juga: Kartu Pers Nomor Satu dianugerahkan PWI kepada wartawan senior
Baca juga: Menkominfo: Pers tetap kedepankan fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa
Yasonna menyadari bahwa perubahan zaman yang disertai perkembangan teknologi informasi dan masifnya penetrasi internet menyebabkan tekanan luar biasa bagi media massa konvensional.
Dia menilai tekanan hebat itu bahkan telah menyebabkan sejumlah media cetak nasional terpaksa "gulung tikar" meski beberapa di antaranya telah beroperasi puluhan tahun.
Tutupnya surat kabar Suara Pembaruan serta berhentinya edisi cetak Koran Tempo dan salam perpisahan yang disampaikan Indopos pada tahun ini disebut Yasonna sebagai kado pahit menjelang peringatan Hari Pers Nasional 2021.
Apalagi beberapa media konvensional seperti Suara Karya, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Merdeka, Jayakarta, Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Tabloid BOLA, Topskor, hingga Majalah Hai juga terlebih dahulu telah berhenti cetak.
Yasonna mengatakan pandemi COVID-19 memang menjadi oase baru karena menyebabkan konsumsi media televisi di Indonesia meningkat seiring dengan program kampanye kebijakan tetap di rumah.
Hanya, kata dia, sebagaimana riset Reuters Institute for the Study of Journalism Universitas Oxford memperlihatkan peningkatan itu hanya kasus kecil karena publik kemudian jenuh dan lelah dengan berita pandemi COVID-19.
Meski demikian, Yasonna berharap media konvensional tidak pasrah dengan berbagai tekanan yang dihadapi saat ini.
"Pers tidak boleh kalah, apalagi mati menghadapi keadaan. Siapa yang akan menyuarakan dan mengawal suara kebenaran jika bukan pers? Siapa yang akan menggaungkan tuntutan wong cilik dari tempat terpencil dan terpelosok jika bukan pers? Kebenaran dan kritisisme harus tetap disampaikan secara bertanggung jawab. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh media resmi, bukan oleh media sosial," kata Yasonna.
"Pers adalah bagian esensi dunia demokrasi, bahkan menjadi pilar keempat selain trias politika. Pers harus tetap hidup sebagai jaminan hidupnya demokrasi yang sehat di Indonesia," sambung Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tersebut.
Lebih lanjut, Yasonna menyebut salah satu strategi yang mesti ditempuh oleh media konvensional untuk bertahan ialah konvergensi media.
Menurut dia, pers dapat melakukan konvergensi media dengan mengintegrasikan media dalam sebuah platform baru. Intinya, kata Yasonna, media jangan sampai kehilangan nalar kreatif dan produktif saat hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19 agar tetap eksis sebagai corong kebenaran di Tanah Air dan rujukan informasi publik.
"Namun, pesan saya, dalam pencarian strategi dan pendekatan baru, paradigma yang harus dikedepankan adalah paradigma yang diatur dalam kode etik jurnalistik. Pers Indonesia harus bersikap profesional, menjunjung tinggi kebenaran, kritis, dan independen dengan tetap mengedepankan moral, kepribadian, jati diri, dan karakter bangsa," ucap Yasonna.
Di sisi lain, Yasonna mengatakan pemerintah saat ini fokus mengatasi tekanan pandemi COVID-19. Namun, dia menyebut pemerintah juga tidak akan tutup mata terhadap permasalahan yang dihadapi dunia pers Indonesia.
"Pemerintah betul-betul berusaha keras untuk menyelesaikan pandemi COVID-19 yang berakibat tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga berdampak sangat dahsyat pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kami berharap media turut membantu pemerintah dalam sosialisasi tentang penerapan protokol kesehatan dan pencegahan COVID-19 serta kesadaran akan vaksin," ujar Yasonna.
Yasonna pun menyampaikan bahwa dalam konteks disrupsi digital saat ini, pemerintah terbuka membuat regulasi yang dapat membantu media untuk keluar dari permasalahan yang ada.
"Kementerian Hukum dan HAM sangat terbuka lebar bagi seluruh stakeholder untuk berdiskusi terkait hal ini agar produk dari materi regulasi menguntungkan seluruh pihak," kata dia.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021