18,7 triliun di 2020 kembali menjamin biaya medis masyarakat yang menjadi korban kejahatan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan surplus keuangan yang dialami oleh BPJS saat ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk kembali memberikan jaminan kesehatan kepada para korban kejahatan.
“Pada prinsipnya negara harus hadir bagi para korban, apalagi masyarakat sudah membayar iuran kepada BPJS setiap bulannya,” ujar Edwin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Edwin berharap pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 dengan mencabut beberapa ketentuan terkait pengecualian jaminan kesehatan untuk korban kejahatan.
Baca juga: LPSK serahkan inisiatif psikososial untuk kemanusiaan Papua
Edwin menuturkan awalnya peserta BPJS Kesehatan yang menjadi korban tindak pidana masih dapat mengakses layanan rumah sakit dengan menggunakan fasilitas BPJS. Namun, ketika Pepres Nomor 82 Tahun 2018 terbit, korban menjadi kehilangan haknya.
“Jika pada peraturan sebelumnya tidak diatur sama sekali mengenai layanan kesehatan bagi korban tindak pidana, maka pada peraturan baru sangat tegas untuk korban tindak pidana tidak mendapatkan dapat mengakses layanan kesehatan melalui mekanisme BPJS,” ucap dia.
Pasal 52 Ayat (1) huruf r dalam Perpres tersebut diatur empat peristiwa tindak kejahatan yang tidak lagi ditanggung BPJS seperti tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Namun pada praktiknya saat ini semua tindak pidana tidak lagi dijamin BPJS,” kata Edwin.
Selain itu, terhadap korban tindak pidana, Edwin juga menyoroti beberapa kelompok yang tidak mendapat lagi manfaat dari BPJS, seperti korban kecelakaan lalu lintas, korban bencana pada masa tanggap darurat, dan lain sebagainya.
“Untuk kecelakaan lalu lintas misalkan, Jasa Raharja hanya menanggung maksimal Rp20 juta, lalu siapa yang menanggung biaya korban jika harus rawat ICU yang jumlahnya lebih besar ?” tanya dia.
Edwin menambahkan, akibat yang muncul setelah Perpres itu terbit banyak korban kejahatan ditolak pada saat melakukan klaim BPJS di rumah sakit lalu diarahkan ke LPSK untuk menanggung biaya medisnya.
Padahal, kata dia, LPSK bukanlah lembaga penjamin kesehatan. Namun di sisi lain tidak ada lembaga lain yang juga memberikan jaminan kesehatan.
“Dengan anggaran yang tersedia saja, kami sudah cukup berat menangani permohonan medis para terlindung LPSK, tentu lebih tidak masuk akal bila LPSK diminta menjamin semua korban kejahatan di Indonesia” kata dia.
Dalam catatan LPSK, jumlah korban kejahatan yang mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi medis ke LPSK usai Perpres Nomor 82 Tahun 2018 terbit mencapai 264 permohonan, tertinggi di 2019 dengan 183 permohonan.
“Seluruhnya merupakan korban kejahatan yang tidak mendapatkan layanan BPJS pada saat di rumah sakit,” ucap Edwin.
Baca juga: LPSK nilai penetapan status "JC" harus merujuk aturan tepat
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021