Para aktivis mendorong Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target yang lebih ambisius dalam kontribusi terhadap upaya melawan perubahan iklim global.(Peningkatan suhu bumi) cenderung masih di 3-4 derajat Celsius, jadi Indonesia harus lebih ambisius. [...] Tinggal kita mengikuti apa yang dirancang pemerintah sebagai 'skenario ambisius' pembangunan rendah karbon
Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia, menyebut bahwa kontribusi nasional Indonesia saat ini, bersama negara-negara lain, tidak cukup membawa bumi bertahan dengan peningkatan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius seperti yang diharapkan.
"(Peningkatan suhu bumi) cenderung masih di 3-4 derajat Celsius, jadi Indonesia harus lebih ambisius. [...] Tinggal kita mengikuti apa yang dirancang pemerintah sebagai 'skenario ambisius' pembangunan rendah karbon," kata Nirarta dalam diskusi yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kamis.
"Di sana sudah ada yang harus dilakukan, program apa saja. Yang kita perlukan adalah dorongan politik dan keinginan politik untuk bersedia melakukannya dengan lebih keras, contohnya transisi ke renewable energy, segera berhenti menggunakan coal," ujar dia.
Indonesia meratifikasi Perjanjian Iklim Paris pada 2016, dengan target penurunan emisi dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) sebesar 29% dan 41% dengan bantuan pihak internasional.
Terkait target tersebut, Dino Pati Djalal, diplomat senior Indonesia sekaligus pendiri FPCI, meluncurkan sebuah petisi untuk mendorong pemerintah "segera menetapkan target penurunan emisi yang ambisius, minimal 50% di tahun 2030, dan mencapai kondisi nol emisi atau carbon neutral di tahun 2050".
Dalam petisi yang dapat diakses melalui change.org/SOSIklimDunia tersebut, Dino juga meminta agar Indonesia berperan aktif dalam konferensi iklim COP-26 yang akan digelar di Glasgow, Skotlandia, pada November tahun ini.
Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative, mengatakan bahwa telah ada regulasi yang baik, salah satunya adalah target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) 23% pada 2025, yang menurutnya cukup ambisius, namun belum dibarengi dengan pengurangan energi batu bara.
"Saat ini angkanya fluktuatif, antara 9-12% [...] itu karena belum ada rencana jelas untuk melepas batu bara. (Target) bauran energi terbarukan meningkat terus, tetapi batu bara juga meningkat terus," kata dia dalam diskusi yang sama.
Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi, riset, dan teknologi, Dyah Roro Esti, mengatakan lembaganya mendorong transisi ke energi baru dan terbarukan, meskipun untuk prosesnya saat ini tidak dapat langsung dilakukan peralihan ke sumber energi tersebut, melainkan dengan pendekatan ramah lingkungan.
"Seluruh anggota Komisi VII mempunyai komitmen yang sama untuk merealisasikan transisi energi, yang tadinya ekonomi kita sangat tergantung pada bahan bakar fosil menjadi energi yang sifatnya lebih ramah lingkungan," ujar Esti.
Komisi VII, kata Esti, saat ini tengah mendorong regulasi berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan--yang telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Baca juga: Kepala BMKG sebut intensitas hujan semakin tinggi setiap tahun
Baca juga: Sri Mulyani jadi Co-Chair Koalisi Menkeu Dunia untuk perubahan iklim
Pewarta: Suwanti
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021