"Hal ini yang akan menjauhkan pemilih dari politik gagasan dan program serta melemahkan kultur kewarganegaraan dalam tata kelola bernegara," kata Titi Anggraini dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Jumat.
Menurut dia, kompleksitas pemilu 5 kotak (pilpres, pilkada, pemilu anggota DPR, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota) yang membuat pemilih tidak mudah dan tidak sederhana dalam memberikan suaranya.
Baca juga: Siti Zuhro: Momen tepat untuk menata ulang pemilu
Baca juga: Perludem ingatkan implikasi pemilu dan pilkada digelar serentak 2024
Baca juga: Analis: Pemberlakuan UU Pemilu berjangka panjang
Di sisi lain, kata Titi, desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung obesitas dan belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara masing-masing aktor, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Apalagi, wacana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak nasional dengan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif dihelat pada tahun 2024 makin menguat.
Padahal, menurut Titi, penyelesaian permasalahan keadilan pemilu yang saat ini terlalu banyak menyediakan ruang/saluran (many room to justice) sehingga membuat sulit tercapainya keadilan dan kepastian hukum elektoral.
Titi mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan pada tahun yang sama meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan menjadi tugas penyelenggara pemilu dalam hal persiapan yang matang dan memikirkan antisipasi sejak dini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Semisal, KPU perlu untuk melakukan simulasi jauh-jauh hari.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021