"Saat itu pada 1943 ada tiga unsur utama yang berperan, yaitu peran ulama Islam, Bung Karno yang saat itu belum menjabat sebagai presiden, kemudian peran tentara Jepang. Ketiganya mendirikan Peta yang bertransformasi menjadi Tentara Nasional Indonesia yang bertugas mempertahankan keamanan negara dan keutuhan NKRI," kata dia, saat menjadi pembicara dalam acara peringatan Ke-76 Peta yang diselenggarakan Yayasan Peta secara virtual, di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, unsur ulama Islam diwakili KH Mas Mansyur dan Gatot Mangkoepradja. KH Mas Mansyur merupakan tokoh Muhammadiyah yang juga salah satu anggota Empat Serangkai Putera itu membawa suara kaum santri.
Sedangkan Mangkoepradja menulis secarik surat kepada panglima tentara Jepang untuk membentuk barisan pemuda lokal untuk membela Tanah Air. Tentara Jepang kemudian membentuk penjabaran teknis dari Tokyo untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan pasukan Sekutu.
"Di dalam surat itu yang sangat heroik adalah tinta yang digunakan itu berasal dari darah Raden Mangkoepradja sendiri," kata Octavian dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Rektor Unhan: perlu kesadaran penguasaan wilayah maritim
Tak kalah penting, kata dia, yaitu peran Bung Karno yang melakukan politik kooperatif. Bung Karno mengajak rakyat untuk menjadi tentara yang terlatih sebagai jalan menuju kemerdekaan Indonesia.
Dalam perjalanan PETA pada masa lalu, kata dia, turut mengawal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seperti salah satu komandan kompi, yaitu Chudanco PETA, Latief Hendraningrat, yang menjadi pengibar bendera Sang Saka Merah Putih.
"PETA juga berperan penting di dalam perjuangan 1945 sampai 1949 dengan melahirkan doktrin perang gerilya. Di sini Panglima Soedirman dan para petinggi TNI lainnya saat itu sangat memahami bagaimana perang gerilya untuk menghadapi penjajah Belanda," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, PETA juga melahirkan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang terdiri dari seluruh potensi kemampuan dan kekuatan nasional yang bekerja secara total, integral, serta berlanjut untuk mewujudkan kemampuan dalam upaya pertahanan keamanan negara.
"Sishankamrata ini secara hukum tertuang dalam UUD 45, dan ini penting sekali Sishankamrata masih digunakan TNI. Sishankamrata ini akhirnya dijabarkan dalam UU, komponennya yaitu utama, cadangan, dan pendukung. Jadi sangat penting sekali memahami Sishankamrata ini mulai dari rohnya para pejuang PETA. Di sini ada 80.000 pasukan PETA saat itu yang berhasil membentuk 400.000 prajurit militer," kata dia.
Baca juga: Rektor Unhan paparkan urgensi penguasaan teknologi roket
Saat ini, kata dia, semangat PETA pun harus memperkuat karakter generasi muda Indonesia. Sebab, pada 2035, Indonesia diproyeksikan mendapat bonus demografi. Angkatan kerja Indonesia yang banyak harus menjadi sumber kekuatan.
"Selain membangun intelektual dan pengetahuannya, maka pemuda ini harus diisi juga akhlak dan mentalnya, semangat juangnya dalam bela negara. Ini adalah juga media untuk mewariskan perjuangan 1945 dari PETA," tuturnya.
Sementara itu, mahasiswa program S3 Universitas Pertahanan, Hasto Kristiyanto, menilai peran penting Bung Karno membuktikan bahwa proklamator Republik Indonesia itu memiliki visi yang sangat kuat bagaimana Indonesia ke depan.
Mahasiswa yang juga menjabat sebagai sekretaris jenderal DPP PDI Perjuangan itu menganggap visi itu bahkan sudah hidup dalam pikiran Bung Karno jauh sebelum Indonesia merdeka.
Baca juga: Hasto: Indonesia perkuat konsolidasi industri pertahanan nasional
"Pembentukan PETA melaui kepeloporan Bung Karno dimaksudkan sebagai langkah strategis konsolidasi negara dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelumnya sejak 1930-an, Bung Karno telah menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia akan terjadi dalam suasana perang, ketika pasifik membara sehingga pembentukan Peta sangat penting dalam perspektif pertahanan bagi negara yang akan segera merdeka dan memerlukan hadirnya angkatan perang yang membela dan melindungi kemerdekaan Indonesia," kata dia.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2021