• Beranda
  • Berita
  • Praktik gugatan "citizen law suit" dalam isu keberlanjutan lingkungan

Praktik gugatan "citizen law suit" dalam isu keberlanjutan lingkungan

15 Februari 2021 16:56 WIB
Praktik gugatan "citizen law suit" dalam isu keberlanjutan lingkungan
Ilustrasi - Galon air minum. ANTARA/HO.
Pernah suatu ketika warga negara Amerika Serikat bersepakat menggugat Pemerintah mereka dengan menggunakan instrumen hukum gugatan citizen law suit karena dianggap telah lalai melindungi kelelawar langka.

Sementara di belahan dunia yang lain yakni di India, Pemerintah negara itu digugat karena juga sudah dianggap lalai melindungi sungai Gangga yang suci bagi Umat Hindu dari polusi yang merusak.

Sedangkan di Indonesia sendiri, gugatan "citizen law suit" sebenarnya belum diatur secara khusus dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan.

Tapi juga, hal itu tidak selamanya berarti bahwa gugatan "citizen law suit" tidak dapat dilakukan di Indonesia.

Pengadilan Indonesia, tercatat, sudah banyak menyidangkan kasus gugatan citizen law suit. Sebut saja, misalnya, kasus gugatan atas ujian nasional yang sudah diputuskan Mahkamah Agung (Putusan Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt/Pst).

Ada pula gugatan atas penyelenggaraan jaminan sosial (Putusan Nomor 278/Pdt.G/2010/PN. Jkt.Pst); dan kasus perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga (Putusan Nomor 146/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst).

Dalam praktiknya, gugatan citizen law suit harus diajukan di peradilan umum sebagai peradilan yang menangani kasus perdata. Hal itu karena gugatan citizen law suit lebih untuk menggugat Pemerintah yang dianggap lalai dalam memenuhi hak-hak warga negara.

Baca juga: Kandungan BPA pada galon isi ulang berbahaya? Ini penjelasan BPOM

Kelalaian tersebut dapat diumpamakan sebagai bentuk Perbuatan Melawan Hukum. Kemudian, Pemerintah dihukum agar mengeluarkan kebijakan dalam menyelesaikan persoalan kelalaian tersebut.

Terkait isu keberlanjutan lingkungan, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menghadapi ancaman sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang ingin menggunakan gugatan tersebut.

Hal itu serupa pun terjadi ketika Pegiat lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menyatakan keinginannya untuk mengajak masyarakat dengan mencoba melakukan gugatan citizen law suit terkait penggunaan sampah plastik sekali pakai.

Atas Nama Hukum
Gugatan citizen law suit atau gugatan warga negara atau gugatan action popularis adalah gugatan yang diajukan oleh perseorangan warga negara kepada negara atas nama kepentingan hukum, di mana penggugat tidak perlu membuktikan secara riil mengalami kerugian.

Pegiat lingkungan ingin mengedukasi sekaligus memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa hal ini juga bisa dilakukan di Indonesia. Masyarakat juga harus mulai diedukasi bahwa mereka memiliki hak untuk meminta tanggung jawab dari industri ketika membeli produknya dan produk itu menjadi sampah dan mengganggu lingkungan.

Di sisi lain, Ecoton juga meminta pemerintah selalu serius menjalankan peraturan yang telah dibuat sebab sebagian besar regulasi yang ada sebenarnya sudah baik dan benar.

Sayangnya ketika diimplementasikan, misalnya, saat industri harus mengubah kemasannya agar lebih ramah lingkungan dan mengurangi produk kemasan plastik sekali pakai mereka, pada kenyataannya itu tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Kenyataan bahkan ada industri yang justru terang-terangan telah melanggar aturan pemerintah itu. Jadi dalam hal ini negara harus hadir untuk menegakkannya.

Dia (Ecoton) mengutarakan dalam hal plastik sekali pakai ini, untuk yang ukuran 15 ml saja produsen-nya belum bisa menjawab permintaan para pegiat lingkungan soal berapa jumlah kemasan yang sudah ditarik oleh produsen-nya.

Sampai sekarang saja industri kemasan sekali pakai, misalnya, galon air yang belum lama ini muncul belum bisa menjawab berapa yang sudah ditarik kembali perusahaan. Itu belum menjadi sesuatu jawaban yang jelas.

Dalam beberapa waktu terakhir pecinta lingkungan menyayangkan keberadaan air kemasan galon sekali pakai berukuran 10 liter di pasaran di tengah-tengah penolakan yang sudah dilakukan terhadap produk serupa yang berukuran 15 liter. Pegiat lingkungan Ecoton menyatakan menolak terhadap galon sekali pakai berukuran 10 liter itu meskipun ukurannya diperkecil.

Menurut mereka peluncuran produk ini menjadi preseden buruk bagi peta jalan atau roadmap pengurangan sampah yang dibuat pemerintah. Sampai sejauh ini industri belum mengubah kemasan sekali pakai mereka, apalagi membuat lagi bentuk kemasan baru seperti galon sekali pakai ukuran 15 liter dan 10 liter.

Peneliti organisasi lingkungan Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho, mengatakan pihaknya tetap mendukung prinsip dasar pengelolaan sampah seperti yang termuat dalam UU 18 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah yang menganut sistem "3R" (Reuse, Reduce, dan Recycle).

Baca juga: Galon sekali pakai dinilai berpotensi datangkan masalah limbah plastik

Baca juga: YLKI dan Greenpeace sesalkan penggunaan kemasan galon sekali pakai


Dalam UU itu, reduce harus didahulukan. Kalau tidak bisa reduce baru reuse, dan langkah terakhir yaitu recycle.

Jadi "3R" ini idealnya juga harus menjadi tanggung jawab perusahaan terhadap sampah produksinya. Hal itulah yang menjadi dasar bagi Ecoton untuk tetap menolak kemasan plastik sekali pakai.

“Itu adalah gerakan yang kita canangkan untuk 2021 ini bahwa kita sudah bebas bahan plastik,” ucap-nya.

Guna Ulang
Sebelumnya, Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik, dengan tegas mengatakan lebih mendukung keberadaan galon guna ulang yang lebih ramah lingkungan daripada kemasan galon sekali pakai.

Karena, menurut Ujang Solihin, kalau dilihat dari Permen KLHK Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, justru yang didorong itu adalah soal pembatasan. Kemudian meredesain kemasan agar kemasan yang tadinya tidak bisa didaur ulang harus bisa didaur ulang. Yang tadinya tidak bisa diguna ulang harus bisa diguna ulang.

Langkah ideal diarahkan lebih baik yang sudah didaur ulang diubah menjadi guna ulang. Karena, justru guna ulang posisinya lebih tinggi hierarki-nya daripada daur ulang.

KLHK justru mendorong produsen melalui Permen Nomor 75 tahun 2019, untuk membangun dan mendesain kemasan yang paling baik dari sisi lingkungan, dan itu adalah guna ulang.

Daur ulang memang sudah benar, tetapi faktanya daur ulang bukan persoalan mudah, melainkan merupakan upaya yang membutuhkan teknologi, membutuhkan uang, dan membutuhkan upaya yang banyak.

Kalau dibandingkan dengan guna ulang yang cenderung lebih sedikit upaya dibandingkan daur ulang.

Guna ulang dalam kasus ini, misalnya, menarik produk atau kemasan dan menggunakan galon guna ulang yang bisa digunakan lagi. Galon guna ulang tercatat bisa digunakan hingga 30-50 kali, sampai masa kemasan selesai baru kemudian didaur ulang.

Gugatan hukum mestinya menjadi jalan terakhir bagi upaya pelestarian lingkungan, sebab keberlanjutan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Sebab praktik "citizen law suit" mencerminkan kelalaian yang mestinya tak perlu terjadi.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021