Dalam arahan saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara Jakarta, Senin (15/2) tersebut, Presiden Jokowi mengingatkan adanya pasal-pasal dalam UU ITE yang bisa diterjemahkan secara multitafsir.
"Sebagai Anggota Baleg dan Anggota Komisi I DPR-RI saya mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden yangmana menangkap fakta riil yang terjadi di masyarakat, bahwa penerapan pasal-pasal telah berkembang liar, membuat resah dan gusar bahkan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat," kata Christina Aryani dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Presiden minta Polri lebih selektif terima laporan pelanggaran UU ITE
Menurut dia, tidak bisa dipungkiri banyak juga yang sudah menjadi korban atas penerapannya.
"Pada sisi ini kami mengapresiasi presiden yang telah menangkap kegelisahan masyarakat ini," katanya.
Di DPR sendiri, katanya, banyak mendapat masukan dari masyarakat terkait urgensi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Baca juga: Presiden: UU ITE bisa direvisi jika tidak berikan rasa keadilan
"Apa yang disampaikan Presiden kemarin sebenarnya meminta agar Kapolri membuat pedoman interpretasi resmi terkait pasal-pasal UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pedoman mana selanjutnya digunakan oleh institusi kepolisian dalam menerima laporan atau menjalankan penyelidikan/penyidikan, katanya.
Apabila dalam level peraturan tersebut (Peraturan Kapolri atau Surat Edaran kapolri) problem multifasir maupun saling lapor sudah bisa dieliminir maka revisi UU ITE belum diperlukan.
"Namun jika ternyata implementasi di lapangan masih tidak sesuai dengan harapan, maka revisi UU ITE menjadi satu-satunya jalan keluar," kata Christina.
Baca juga: Azis Syamsuddin sambut baik rencana pemerintah revisi UU ITE
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021