"Pasien OTG (orang tanpa gejala) memiliki antibodi yang cukup untuk didonorkan. Saya mengucapkan terima kasih atas donor plasmanya, semoga menjadi amal jariyah para penyintas nantinya," kata Muhadjir, kepada dua pendonor, saat mengunjungi Unit Tranfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Surabaya, Selasa.
Muhadjir sempat mengaku heran melihat ada dua orang yang bisa melakukan donor plasma konvalesen hingga 10 kali.
Namun demikian, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini mengakui bahwa kebutuhan plasma konvalesen terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia, sehingga berpotensi meningkatnya jumlah calon pendonor bila kesembuhan semakin meningkat.
"Penggalangan pendonor plasma konvalesen akan terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saudara kita yang masih terpapar COVID-19, sebagai bentuk rasa syukur bagi yang sudah sembuh dan meningkatkan gotong royong kita sebagai Bangsa Indonesia," ujarnya.
Salah satu pendonor, Luki Handoko, menceritakan dia sempat kritis usai dinyatakan COVID-19. Dia bahkan harus merasakan sesak nafas tanpa adanya penanganan medis saat isolasi di rumahnya.
"Awalnya saya demam, batuk kering dan setelah berobat ke dokter batuknya makin parah. Akhirnya saya dinyatakan PDP dan harus pulang karena rumah sakit penuh. Setelah positif saya dibawa ke Rumah Sakit Menur, sementara istri dan anak tanpa gejala dikirim ke rumah sakit lapangan," kata warga Tandes ini.
Dari pengalaman positif COVID-19 tersebut dan setelah mendapat penjelasan dari pihak PMI yang menawarkan donor plasma, Luki menyanggupi.
"Ini kan (darah) gratis dikasih Allah, jadi kalau akhirnya bisa bermanfaat buat pasien COVID-19, saya tidak keberatan," ujarnya.
Setelah sembuh dari COVID-19 pada Juli 2020, Luki rutin mendonorkan darah untuk diambil plasmanya hingga 10 kali pengambilan darah.
Setiap 14 hari setelah donor, ia harus menjalani screening untuk memeriksa kondisi antibodi-nya apakah masih mencukupi untuk didonorkan.
"Terakhir 24 Desember 2020 saya donor, dan antibodi saya sudah tidak mencukupi untuk didonorkan. Selama ini donor tertunda karena terbatasnya kantong kit, jadi diundur. Kalau karena antibodinya kurang sudah tidak bisa donor lagi," katanya.
Meskipun tidak bisa mendonorkan plasma lagi, Luki bangga karena sekarang masyarakat juga telah paham bahwa penyintas COVID-19 bisa membantu menyembuhkan pasien COVID-19 lainnya, sehingga tidak ada diskriminasi yang diterimanya di masyarakat.
"Awal kena COVID-19, saya yang pertama di kampung. Dijauhi warga dan tidak dapat bantuan karena kami warga musiman. Tapi sekarang sudah banyak yang kena, mereka juga tahu saya pendonor plasma. Jadi sudah tidak ada diskriminasi lagi," tuturnya.
Selama sakit hingga aktif mendonorkan plasma darah, Luki mendapat dukungan penuh dari istrinya, Agustin.
Sementara itu, Agus Eko Nirno merupakan penyintas COVID-19 setelah dinyatakan OTG.
Agus dinyatakan positif saat mengikuti swab massal yang diadakan Pemerintah Kota Surabaya.
"Saya rutin donor darah, jadi saat ada tawaran donor plasma ya saya ikut saja," ucapnya.
Agus mengungkapkan donor plasma sama halnya dengan donor darah biasa. Hanya saja membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan donor darah biasa.
"Biasanya donor darah hanya membutuhkan waktu 15 menit, donor plasma bisa sampai satu jam. Tidak lemas atau bagaimana sih, hanya dingin saja," ujarnya.
Agus tidak keberatan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk mendonorkan darahnya dan menjalani screening untuk memastikan jumlah antibodinya cukup untuk didonorkan.
"Minggu depan saya ada jadwal untuk donor plasma ke-11, kalau memang nanti tidak bisa donor plasma, saya bisa donor darah biasa," katanya.
Agus berharap akan lebih banyak penyintas yang mau mendonorkan plasmanya untuk membantu sesama. Karena dengan donor plasma, juga bisa memastikan kondisi kesehatannya secara berkala.
Pewarta: A Malik Ibrahim/Willy Irawan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021