Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy memuji pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro di Desa Sidorejo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
"PPKM mikro yang diterapkan di Desa Sidorejo sudah bagus, sudah sesuai dengan konsep strategi penanganan COVID-19 skala mikro yang dicetuskan pemerintah pusat," katanya saat meninjau PPKM di Desa Sidorejo, Selasa.
"Di desa ini ada ruang isolasi, termasuk kepala dinas kesehatan dan kepala puskesmas sudah menyiapkan ada tenaga tracer (pelacak), tenaga tester (pemeriksa) untuk mengetes positif atau negatifnya," katanya.
Selama melakukan peninjauan, Muhadjir juga mengecek ruang isolasi dan gudang logistik di posko yang ada di kantor desa didampingi oleh Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto Didik Chusnul Yakin, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto Sujatmiko, Kepala Puskesmas Jetis Dadang, dan Kepala Polsek Jetis Kompol Suharyono.
Muhadjir sempat berdialog dengan tenaga pelacak dan pemeriksa kasus COVID-19 di Desa Sidorejo, menanyakan cara melakukan pelacakan dan pemeriksaan, proses karantina, pemenuhan kebutuhan warga yang dikarantina, hingga penanganan pasien COVID-19.
Ia mendapat penjelasan bahwa penanganan pasien COVID-19 dilakukan sesuai dengan kondisinya. Pasien COVID-19 tanpa gejala dikarantina di ruangan isolasi yang ada di kantor desa, pasien dengan gejala ringan dirawat di rumah karantina di puskesmas rawat inap, dan pasien dengan gejala berat dirawat intensif di rumah sakit.
"Ada standar kalau gejala ringan dibawa ke mana, sedang dan berat ke mana. Ini bagus sekali, bisa direplikasi desa-desa yang lain," kata Muhadjir.
"Tidak harus seragam, sesuai dengan ciri khas masing-masing desa saja," ia menambahkan.
Ia menekankan bahwa tenaga pelacak kasus harus benar-benar jeli dalam menelusuri riwayat kontak erat pasien COVID-19 dan memastikan orang-orang yang melakukan kontak erat dengan pasien menjalani prosedur karantina.
Karantina, ia melanjutkan, bisa dilakukan di fasilitas karantina desa serta fasilitas publik atau rumah warga yang difungsikan sebagai tempat isolasi.
"Sampai dipastikan siapa yang sehat dari mereka yang kontak langsung, diobservasi sampai pasti bahwa dia tidak terkontaminasi," katanya.
"Kemudian yang sudah suspek dan sudah terpapar, yang OTG (orang tanpa gejala) dan yang ringan (gejalanya) tidak perlu dibawa ke rumah sakit dulu. Cukup diobati, dirawat, dikawal oleh kepala puskesmas setempat. Baru kalau sudah tingkat berat silakan diangkat ke rumah sakit," ia menjelaskan.
Ia mengemukakan bahwa PPKM skala mikro, vaksinasi, dan donor plasma konvalesen bisa menjadi faktor pengubah kurva penularan COVID-19.
"Dengan ditangani yang kecil-kecil (hingga tingkat RT) nanti otomatis secara nasional akan selesai setelah semuanya ditangani," katanya.
Baca juga:
Kasus COVID-19 di Yogyakarta menurun setelah PPKM
Rp392,3 miliar Dana Desa digunakan untuk dukung PPKM mikro
"PPKM mikro yang diterapkan di Desa Sidorejo sudah bagus, sudah sesuai dengan konsep strategi penanganan COVID-19 skala mikro yang dicetuskan pemerintah pusat," katanya saat meninjau PPKM di Desa Sidorejo, Selasa.
"Di desa ini ada ruang isolasi, termasuk kepala dinas kesehatan dan kepala puskesmas sudah menyiapkan ada tenaga tracer (pelacak), tenaga tester (pemeriksa) untuk mengetes positif atau negatifnya," katanya.
Selama melakukan peninjauan, Muhadjir juga mengecek ruang isolasi dan gudang logistik di posko yang ada di kantor desa didampingi oleh Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto Didik Chusnul Yakin, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto Sujatmiko, Kepala Puskesmas Jetis Dadang, dan Kepala Polsek Jetis Kompol Suharyono.
Muhadjir sempat berdialog dengan tenaga pelacak dan pemeriksa kasus COVID-19 di Desa Sidorejo, menanyakan cara melakukan pelacakan dan pemeriksaan, proses karantina, pemenuhan kebutuhan warga yang dikarantina, hingga penanganan pasien COVID-19.
Ia mendapat penjelasan bahwa penanganan pasien COVID-19 dilakukan sesuai dengan kondisinya. Pasien COVID-19 tanpa gejala dikarantina di ruangan isolasi yang ada di kantor desa, pasien dengan gejala ringan dirawat di rumah karantina di puskesmas rawat inap, dan pasien dengan gejala berat dirawat intensif di rumah sakit.
"Ada standar kalau gejala ringan dibawa ke mana, sedang dan berat ke mana. Ini bagus sekali, bisa direplikasi desa-desa yang lain," kata Muhadjir.
"Tidak harus seragam, sesuai dengan ciri khas masing-masing desa saja," ia menambahkan.
Ia menekankan bahwa tenaga pelacak kasus harus benar-benar jeli dalam menelusuri riwayat kontak erat pasien COVID-19 dan memastikan orang-orang yang melakukan kontak erat dengan pasien menjalani prosedur karantina.
Karantina, ia melanjutkan, bisa dilakukan di fasilitas karantina desa serta fasilitas publik atau rumah warga yang difungsikan sebagai tempat isolasi.
"Sampai dipastikan siapa yang sehat dari mereka yang kontak langsung, diobservasi sampai pasti bahwa dia tidak terkontaminasi," katanya.
"Kemudian yang sudah suspek dan sudah terpapar, yang OTG (orang tanpa gejala) dan yang ringan (gejalanya) tidak perlu dibawa ke rumah sakit dulu. Cukup diobati, dirawat, dikawal oleh kepala puskesmas setempat. Baru kalau sudah tingkat berat silakan diangkat ke rumah sakit," ia menjelaskan.
Ia mengemukakan bahwa PPKM skala mikro, vaksinasi, dan donor plasma konvalesen bisa menjadi faktor pengubah kurva penularan COVID-19.
"Dengan ditangani yang kecil-kecil (hingga tingkat RT) nanti otomatis secara nasional akan selesai setelah semuanya ditangani," katanya.
Baca juga:
Kasus COVID-19 di Yogyakarta menurun setelah PPKM
Rp392,3 miliar Dana Desa digunakan untuk dukung PPKM mikro
Pewarta: Indra Setiawan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021