• Beranda
  • Berita
  • Psikiater: Penyintas COVID-19 bisa alami distorsi psikologis

Psikiater: Penyintas COVID-19 bisa alami distorsi psikologis

17 Februari 2021 14:47 WIB
Psikiater: Penyintas COVID-19 bisa alami distorsi psikologis
Psikiater yang juga Secretary General - Asian Federation of Psychiatric Asociations dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ berbicara dalam konferensi pers Satgas Penanganan COVID-19 secara virtual dari Graha BNPB, Jakarta, Rabu (17/2/2021). ANTARA/Katriana.
Psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan penyintas COVID-19 bisa mengalami distorsi atau gangguan psikologis akibat kejadian infeksi COVID-19 yang pernah dialami.

"Jadi, memang pada pasien COVID-19 itu bisa dipastikan ada distorsi psikologis yang dialami," kata Nova yang juga merupakan Secretary General-Asian Federation of Psychiatric Asociations, dalam konferensi pers Satgas Penanganan COVID-19 secara virtual dari Graha BNPB di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Berbagi plasma bentuk kepedulian sesama

Baca juga: Dokter paru sarankan protokol ketat kunjungan penyintas kanker paru


Nova mengatakan fakta tersebut dapat dibuktikan dari beberapa penelitian baik di dalam maupun luar negeri, salah satunya yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang melakukan swaperiksa secara random baik terhadap orang-orang yang telah terinfeksi maupun yang belum terinfeksi COVID-19.

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap sekitar 4.010 orang tersebut menunjukkan bahwa 64,8 persen diantaranya mengalami masalah psikologis, 65 persen mengalami cemas dan 62 persen mengalami depresi.

Untuk menyorot lebih jelas gangguan psikologis yang dialami penyintas COVID-19, Nova menunjukkan penelitian lain dari asesmen secara daring yang dilakukan di China terhadap 730 pasien COVID-19 di sebuah rumah sakit.

Hasil asesmen tersebut menunjukkan bahwa prevalensi gejala-gejala stres pascatrauma yang berhubungan dengan COVID-19 mencapai 96,2 persen. "Ini berarti tinggi sekali," katanya.

Sementara penelitian lain di Kota Daegu, Korea Selatan, yang dilakukan dengan wawancara via telepon terhadap sekitar 64 penyintas COVID-19 di sana menunjukkan bahwa 20,3 persen diantaranya mengalami gangguan stres pascatrauma atau dikenal dengan post traumatic stress disorder (PTSD)

"Nah, kalau PTSD ini menjadi berbeda karena ini durasinya harus minimal 1 bulan. Jadi berbeda dengan reaksi stres akut, yang mana ini hanya terjadi antara 3 harian," katanya.

Baca juga: Rekomendasi psikiater dan psikolog dalam pengobatan pasien COVID-19

Dari beberapa penelitian tersebut, Nova mengatakan bahwa penyintas COVID-19 memang memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan psikologi akibat peristiwa traumatis yang pernah mereka alami akibat COVID-19.

"Stres ini kemudian dipersepsikan sebagai apa dan bagaimana emotional reactionnya. Ternyata tadi ada yang menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Sedangkan ini akan berpengaruh lagi ke bagaimana penyintas melakukan manajemen stres," katanya.

Untuk mengatasi hal tersebut, katanya, memang harus ada kemampuan dari penyintas untuk bisa menghadapi masalah tersebut, dan kemampuan untuk bisa menghadapinya itu perlu didukung dengan dukungan semangat dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.

"Jadi harus ada dukungan (psikologi) yang sebaiknya bisa diberikan sesegera mungkin," ujar Nova.

Baca juga: Psikiater: Banyak penyebab kejenuhan mental di tengah pandemi

Baca juga: Psikiater: Redakan stres saat pandemi agar tak terjerumus narkoba


Dukungan dari keluarga dan bantuan psikologi itu diharapkan bisa memberikan resiliensi atau kemampuan bagi penyintas untuk bisa bertahan walaupun dihadapkan dengan stres akibat peristiwa besar dalam hidup mereka, salah satunya karena terinfeksi COVID-19.

Pewarta: Katriana
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021