"Kan ironi ketika ada puskesmas yang sudah memiliki insinerator, tetapi tidak ada izinnya. Padahal yang mengeluarkan izinnya itu di kabupaten, masak nggak bisa?" kata Pastika saat melakukan penyerapan aspirasi secara virtual di Denpasar, Rabu.
Menurut anggota Komite 2 DPD itu, di tengah pandemi COVID-19 yang tidak selesai dalam waktu singkat, tentunya persoalan limbah medis tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dia mencontohkan untuk proses vaksinasi COVID-19 saja nantinya akan ada sekitar 6 juta botol bekas vaksin, belum lagi jarum suntiknya. Tak hanya itu, tentu masih banyak limbah dari pasien yang saat ini sedang dirawat, baik karena COVID-19 ataupun penyakit lainnya.
"Jangan dianggap enteng karena itu sangat beracun dan berbahaya jika masyarakat sampai terpapar limbah medis," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.
Pastika mengatakan seharusnya Bali bisa memiliki tempat atau jasa untuk pengolahan limbah medis karena selama ini rumah sakit-rumah sakit di Bali harus mengeluarkan puluhan miliar rupiah pertahun untuk pengangkutan limbah medis ke Pulau Jawa.
"Sebenarnya ini peluang besar bagi Bali, jika Bali bisa membuat pengolahan limbah medis. Kalau ada pengusaha yang mau buat perusahaan ini tentu sangat bagus," ujarnya pada acara yang dipandu I Nyoman Wiratmaja itu.
Dia tidak memungkiri, tentu butuh perjuangan dan orang-orang yang bersemangat dan berkomitmen untuk mengatasi persoalan ini.
"Seperti halnya ketika awal COVID-19 ketika Bali tidak diberikan izin oleh Kementerian Kesehatan untuk pemeriksaan sampel, padahal kita sudah memiliki sejumlah laboratorium PCR. Saat itu, pagi saya bicara dengan Bapak Doni Monardo (Kepala BNPB-red), ternyata sore sudah keluar izinnya dari Kemenkes," ucapnya.
Sementara itu, Pembimbing Kesehatan Kerja Madya Dinas Kesehatan Provinsi Bali Gede Suarta, SSos, MPH dalam kesempatan itu banyak mengulas mengenai tahapan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Oleh karena Bali belum memiliki tempat pengolahan B3, selama ini limbah medis di Bali diangkut ke tempat pengolahan di Pulau Jawa.
"Di Bali itu ada 72 rumah sakit pemerintah dan swasta. Paling sedikit setiap RS pertahun mengeluarkan biaya Rp1 miliar untuk pengangkutan limbah tersebut oleh perusahaan pengangkutan limbah medis. Ini belum termasuk yang dari puskesmas-puskesmas," ujarnya.
Menurut Suarta, ada sejumlah puskesmas sudah memiliki insinerator, namun belum bisa difungsikan untuk pengolahan limbah medis karena belum mengantongi izin.
Dalam kesempatan itu juga menghadirkan narasumber Ketua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST 3R) Desa Adat Seminyak Nyoman Rudita yang mengungkapkan sejumlah layanan pengangkutan dan pengolahan sampah yang diberikan kepada masyarakat dan perusahaan di daerah Seminyak, Kabupaten Badung.
Dari 179 meter kubik sampah yang diangkut perhari, untuk sampah organik yang telah diolah menjadi kompos juga kemudian dibagikan kepada petani.
Dengan sejumlah upaya yang dilakukan itu, bahkan dengan pelanggan juga dari luar desa, pihaknya berharap sampah yang terbuang ke tempat pembuangan akhir semakin kecil dan itupun hanya residunya.
Penyerapan aspirasi itu juga menghadirkan Koordinator Kemitraan Bali Resik Ayu Widiasari bersama tim yang selama ini aktif melakukan swakelola sampah.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021