Dalam Pasal 201 ayat 8 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan, "Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024".
Apabila tetap menggunakan UU 10/2016, otomatis tahun 2022 dan 2023 di seluruh nusantara tidak ada pelaksanaan Pilkada. Dengan demikian yang habis masa jabatan kepala daerah pada tahun 2022 sebanyak 101 kepala daerah yang terdiri 7 gubernur, 76 bupati dan 18 walikota. Sedangkan yang berakhir tahun 2023 sebanyak 171 kepala daerah yang terdiri dari 17 gubernur, 115 bupati dan 39 wali kota.
Sambil menunggu kepala daerah hasil pilkada yang direncanakan November 2024 akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah.
Bagi kepala daerah yang berminat kembali mengikuti kontestasi pilkada harus bersabar menunggu Pilkada Serentak 2024, baik bagi yang baru menjabat satu periode atau dua periode berminat ke level di atas, seperti dari bupati/wali kota ke gubernur atau dari gubernur ke presiden, juga sabar tunggu 2024.
Baca juga: KPU: Beban berat pemilu-pilkada 2024 di penyelenggara terdepan
Bagi kepala daerah yang habis masa jabatan di 2022 dan 2023, bisa jadi untuk sementara jeda, break, istirahat menjadi rakyat biasa. Pada posisi inilah yang ditengarai akan menurunkan elektabilitas yang bersangkutan.
Popularitas bisa meredup. Sedikit banyak rakyat akan melupakan. Sekaligus kalau tidak dikelola dengan baik, figur-figur semacam ini akan turun nilai jual untuk bertarung di pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur dan pemilihan presiden.
Penjabat Kepala Daerah
Jumlah Pj sebanyak 272 yang nantinya akan mengendalikan dan mengelola pemerintahan baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota hampir mendekati separuh dari jumlah keseluruhan yang sebanyak 548 pemda yang terdiri dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Mengacu Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, maka akan ada 272 kepala daerah yang kepemimpinannya bakal diisi oleh Pj kepala daerah yang ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri. Sedangkan masa jabatan Pj kepala daerah ini bervariasi, tergantung masa akhir jabatan kepala daerah masing-masing.
Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.
Berikut isi Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada: "Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024".
Dari fakta empirik, sejumlah keuntungan ketika pejabat kementerian (eselon 1) ditunjuk sebagai Pj gubernur, pejabat pemprov (eselon 2) untuk Pj bupati atau wali kota. Biasanya figur yang ditunjuk datang dari seorang pejabat yang relatif berkualitas, karena tidak mungkin Mendagri atas nama Presiden atau Gubernur atas nama Mendagri menunjuk seorang pejabat yang biasa-biasa saja.
Baca juga: Istana: Pemerintah tolak revisi UU Pemilu bukan ingin muluskan Gibran
Mereka paham betul tentang kepemerintahan. Terutama tentang tata kelola keuangan. Disamping itu, rasa bangga dan percaya diri muncul untuk berbuat sebaik mungkin. Relatif steril dari hiruk pikuk perpolitikan.
Sepanjang Kementerian Dalam Negeri dan gubernur mampu menempatkan penjabat-penjabat terbaik yang profesional dan punya kapasitas untuk memegang posisi kepala daerah selama masa peralihan tersebut, hal ini justru menguntungkan.
Karena dapat menyiapkan pondasi atau landasan bagi tata kelola pemerintahan untuk kepala daerah terpilih. Sangat menguntungkan bagi kepala daerah terpilih untuk periode pertama yang datang dari luar pemerintahan.
Keuntungan lain, kualitas dan kuantitas hubungan komunikasi dari kementerian dengan pemerintah provinsi serta dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih mudah untuk melakukan supervisi dan koordinasi, baik bagi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur.
Hal ini logis dan beralasan karena yang sementara memimpin daerah adalah bagian dari birokrasi yang dipimpinnya. Dengan demikian mengharapkan Pj bisa clean and clear dalam memimpin daerah sebagai pemimpin sementara atau masa transisi bukan sesuatu hal yang sulit.
Sejujurnya nyaris tidak ada kerugian bagi daerah termasuk para pejabatnya. Seandainya disebut kerugiannya, adalah Pj ditunjuk bukan dipilih. Maka legitimasi dianggap lemah. Kelemahan ini sepertinya akan tertutup dengan kualitas Pj ketika mengelola daerah sebagai Pj.
Baca juga: Azis: Sosialisasikan skema simulasi Pemilu Serentak 2024 sejak dini
Untuk itu, figur-figur yang kini menjabat dan akan berakhir pada 2022 dan 2023 harus bersiap untuk menyiapkan strategi menghadapi pemilu 2024. Hal ini mengingat revisi UU Pemilu tampaknya tidak akan terjadi setelah parpol-parpol koalisi pemerintah menyatakan menolak perubahan UU tersebut dan hanya menyisakan PKS dan Demokrat yang mendukung.
Strategi yang tepat dibutuhkan para figur kepala daerah yang ingin berkontestasi pada Pemilu 2024, agar selesainya masa jabatan tidak berarti harus kehilangan pamor politik.
*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng
Pewarta: Pudjo Rahayu Risan *)
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021