Tidak salah jika Indonesia disebut kaya akan sumber daya alam. Tanah "Ibu Pertiwi" ini juga masyhur sebagai negara yang sukses dalam mengembangkan bidang pertambangan, salah satunya di industri penambangan emas.Di sini ada lima lubang, biasa kalau terkumpul di satu lubang itu, orangnya sampai 700-an
Salah satunya ada di Desa Buranga yang terletak di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah yang ternyata menyimpan kekayaan perut bumi, berupa emas itu.
Tapi sayangnya lokasi pertambangan di desa ini masih ilegal atau tidak memiliki izin. Desa Buranga ini terdapat lokasi pertambangan, yang beberapa bulan terakhir menjadi viral, karena banyaknya warga yang menambang di lokasi itu.
"Setiap hari bisa sampai ratusan orang yang datang disini menambang," kata Irfan salah satu penambang di Desa Buranga.
Lokasi pertambangan terletak di sejumlah dusun di wilayah itu. Meskipun tidak memiliki izin pertambangan masih saja beroperasi.
Tak ada syarat khusus diberikan kepada warga yang datang untuk menambang. Cukup membayar "uang palang" sebesar Rp10 ribu untuk masuk. "Tidak ada syarat, hanya bayar uang masuk pas di palang situ Rp10 ribu," tambah Irfan.
Ia mengaku sudah beberapa bulan terakhir menambang di Desa Buranga. Pria berusia 41 tahun itu, sebelumnya berprofesi sebagai nelayan.
Tangkapan ikan yang kurang ataupun tak ada pembeli dari hasil melaut, memaksa Irfan "banting stir" untuk menambang. Tidak hanya itu, pandemi COVID-19 yang berdampak pada ekonominya menjadi alasan lainnya.
"Kadang masih melaut. Kalau hasilnya susah, kemari lagi untuk ikut menambang," katanya.
Dalam sehari, lokasi pertambangan ini biasa dipenuhi sampai 500 hingga 700 orang penambang. Baik dari dalam maupun luar Kecamatan Ampibabo.
Diketahui ada lima lubang yang kerap dipakai warga untuk mendulang emas." Di sini ada lima lubang, biasa kalau terkumpul di satu lubang itu, orangnya sampai 700-an," kata Irfan
Malapetaka
Tapi, malapetaka terjadi pada Rabu, 24 Februari 2021, sekitar pukul 18:00 WITA. Longsor terjadi dan menimbun puluhan warga yang sedang mendulang emas.
Sekurangnya 8 warga meninggal dunia, 8 luka luka, 6 selamat dan seorang masih dalam pencarian karena tertimbun material longsor.
Satu orang dalam pencarian tersebut adalah ayah Irfan sendiri."Korban yang lain ada sudah didapat, ini tinggal satu, bapak saya sendiri," katanya
Tim SAR gabungan yang terdiri atas Baarnas, TNI/Polri, Tagana, BPBD, PMI, serta warga sekitar masih melakukan pencarian terhadap korban yang masih tertimbun.
"Sesuai SOP, pencarian akan dilakukan selama tujuh hari dari pukul 08:00 sampai 18:00 WITA kata Kepala Basaran Palu ndreas Hendrik Johannes, Kamis (25/2) 2021.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) yang langsung meninjau lokasi longsor menyoroti tambang liar atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Desa Buranga tersebut.
Direktur Walhi Sulteng Abdul Haris Lapabira menyatakan lokasi tersebut tak layak disebut lokasi tambang. Menurutnya, pertambangan itu cocok disebut sebagai "makam massal".
"Kalau kita lihat lubangnya yang dibangun itu, digali dengan amburadul dan tidak punya pola. Berbeda dengan teknologi menambang dengan benar. Ini kuburan massal," katanya di lokasi Jumat (26/2).
Menurutnya, lokasi pertambangan ini sangatlah berbahaya bagi warga yang menambang." Ini benar langsung lubang yang menganga, di mana ada puluhan orang di dalamnya itu sangat berbahaya sekali," katanya.
Data Walhi Sulteng menyebutkan aktivitas warga melakukan pendulangan emas di Kecamatan Ampibabo ini sudah dimulai sejak tahun 90an.
"Jika melihat aliran sungai, memang warga sudah lama mendulang. Dan mereka mendulang dengan manual. Artinya manual itu mereka menggali dengan melakukan peralatan seadanya," kata Haris.
Namun, menurutnya pertambangan ini menjadi terkenal saat adanya alat berat yang disediakan oleh seseorang untuk menggali lubang di wiayah itu.
Kemudian, hal itulah yang memancing sejumlah warga untuk bertambang dengan harapan jumlah emas yang mereka dapatkan akan banyak. Tapi dari sejumlah pengakuan, ada juga yang dalam sehari itu tidak mendapatkan apa apa.
Dari kejadian longsor yang menyebabkan korban jiwa itu Walhi mempertanyakan kenapa tidak adanya upaya hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan, apalagi status lokasi pertambangan tersebut ilegal.
Menurut temuan Walhi, pertambangan itu sudah ada kurang lebih tiga hingga empat bulan lalu.
Walhi menduga ada kelalaian dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum." Mesti diperiksa karena tidak tegas terhadap aktivitas penambangan yang memakan korban. Tidak tegas dalam artian apakah mereka sudah melakukan atau meminta penghentian di lokasi tersebut," kata Haris.
Walhi menduga ada oknum yang menghadirkan alat berat di lokasi penambangan. Walhi belum mempunyai informasi rinci apakah warga takut atau memang ada tekanan kepada para pendulang untuk tidak bercerita soal itu.
Mestinya, aparat Polri bisa melacak hal tersebut, karena dari informasi yang didapatkan dari para pendulang, mereka harus membayar uang masuk di lokasi pertambangan.
"Ini yang harus dilacak oleh aparat kepolisian, kemana uang itu mengalir. Coba kalau dalam satu hari bisa sampai 500 orang yang masuk, berapa penghasilannya, dan ke mana uang itu," tambahnya
Karena itu, menurut Walhi, mengusut tegas dan tuntas kejadian ini menjadi hal penting. Walhi berharap ini jadi hal yang penting dievaluasi serius. Kalau upaya hukum tidak dilakukan dengan tegas maka hanya tinggal menunggu waktu saja ada korban.
Penindakan
Namun, Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Pol Abdul Rakhman Baso menyatakan pihaknya tetap melakukan penegakan hukum dan sudah beberapa kali ada penindakan dan penertiban.
"Tapi mereka kembali lagi,” katanya.
Penegakan hukum terhadap kegiatan Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo tersebut bukan satu satunya cara untuk menghentikan kegiatan itu.
"Karena dampak penegakan hukum itu berdampak pada sisi ekonomi masyarakat. Kami lakukan penertiban mereka unjuk rasa, alasannya karena mereka tidak punya penghasilan untuk menghidupi keluarga," kata Kapolda.
Ia menyebut harus ada upaya untuk menyamakan perseps untuk melakukan penguatan edukasi serta sosialisasi tentang bahaya PETI kepada masyarakat.
"Kami kemarin mengajak pemda duduk bersama. mulai dari bupati hingga kepala desa supaya 'mindset' (pola pikir) kita sama agar tidak terjadi lagi seperti ini, " katanya.
Tidak hanya itu, Kapolda Sulawesi Tengah juga akan menindak tegas jika ada oknum kepolisian yang terlibat di aktivitas penambangan itu.
"Saya tidak ragu ragu, akan ditindak tegas Kemudian jika membekingi dan lain-lain ya kita lakukan penindakan. Kita tidak ragu-ragu menindak," katanya menegaskan.
Usai kejadian itu, kini aktivitas pertambangan di Desa Buranga dihentikan untuk sementara waktu oleh Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong.
Wakil Bupati Parigi Moutong, Badrun Nggai menjelaskan penghentian aktivitas tambang ilegal ini merupakan hal sementara sambil menunggu solusi dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah serta pemerintah pusat apakah tambang tersebut akan ditutup permanen atau tidak.
"Hentikan dulu sementara, bukan berarti ditutup. Sambil kita mencari solusi yang terbaik untuk masyarakat," katanya.
Sebagai penambang ilegal Irfan mengaku pasrah jika pemerintah menutup tambang tersebut. Meski demikian, ia berharap tambang tersebut dapat dilegalkan oleh pemerintah.
"Kami pasrah saja, ya harapannya masih bisa dibuka dan bisa menambang, namun dengan aturan legal dari pemerintah," katanya.
Malapetaka di Desa Buranga itu, sebenarnya bukan kejadian pertama, karena musibah serupa juga terjadi di kawasan lain yang ada penambangannya secara ilegal.
Tentu, semua pemangku kepentingan harus duduk bersama guna mencari solusi yang bisa "win win solution" sehingga ke depan tidak lagi terjadi bencana lingkungan semacam itu.
Baca juga: Puluhan penambang emas ilegal di Parigi Moutong tertimbun longsoran
Baca juga: 6 orang meninggal dunia, Pemkab hentikan aktivitas tambang Buranga
Baca juga: SAR berhasil evakuasi tiga jenazah korban longsor PETI Parigi Moutong
Baca juga: Polisi usut peristiwa longsor di lokasi tambang ilegal Parigi Moutong
Pewarta: Rangga Musabar
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021