"Saya melihat ada miskomunikasi antara elit politik dengan masyarakat. Karena itu, perlu sosialisasi yang fleksibel agar ada penafsiran yang sama terhadap UU ITE," kata dia, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, "pasal-pasal karet" di dalam UU ITE menjadi masalah ketika elit politik dengan mudah melaporkan seseorang yang dianggap mencemarkan nama baik melalui kritik yang disampaikan.
Baca juga: Fraksi PAN dorong revisi UU ITE menjadi inisiatif pemerintah
"Pasal-pasal karet" itu dikhawatirkan membuat masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan berekspresi dan mengkritik elit politik.
"Kita saat ini hidup di alam demokrasi. Kebebasan, terutama kebebasan pers, banyak dirasakan manfaatnya. Media sosial sendiri merupakan hal yang baru dan belakangan semakin banyak dimanfaatkan," tuturnya.
Pada satu sisi, kebebasan berekspresi dan berpendapat juga tidak boleh kebablasan karena bisa merugikan banyak pihak melalui fitnah dan berita bohong atau hoaks.
Baca juga: Tim Kajian UU ITE perdana pertemukan pelapor dan terlapor hari ini
"Jadi aturan harus tetap ada. Penafsiran yang sama harus disosialisasikan sehingga publik tidak merasa kebebasannya sudah dicabut," katanya.
Apalagi, UU ITE tidak hanya mengatur tentang berpendapat melalui internet atau media sosial, tetapi juga mengatur tentang transaksi elektronik.
"Ada yang justru ingin UU ITE dihapus. Sementara saat ini kita sudah banyak melakukan transaksi elektronik. Karena itu, UU ITE sangat diperlukan," katanya.
Baca juga: Pengamat: Perlu edukasi publik untuk ciptakan dunia maya yang sehat
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021