Regulasi terhadap produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HTPL) dinilai perlu segera dirumuskan, agar mampu menurunkan jumlah prevalensi perokok di Indonesia.
"Dalam melihat produk HPTL, seharusnya pemerintah mulai merumuskan dan menerbitkan regulasi secara khusus, yang terpisah dari regulasi rokok secara umum. Pasalnya, cukup banyak penelitian yang memvalidasi bahwa HPTL jauh lebih rendah risiko daripada rokok," kata Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada, Satria Aji Imawan, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, produk HPTL sebenarnya menawarkan solusi bagi pemerintah untuk mengurangi permasalahan merokok di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga: Appnindo harap ada regulasi label khusus untuk produk hasil tembakau
Solusi ini dapat diwujudkan melalui penerapan inovasi dan teknologi yang mutakhir sehingga menjadi subtitusi dari rokok, mengingat produk HPTL dapat mengurangi risiko kerugian kesehatan bagi penggunanya.
“Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membedakan regulasi produk HPTL dengan rokok,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan belum dirumuskannya regulasi spesifik bagi HPTL, pemerintah menciptakan persepsi kepada publik bahwa produk HPTL dan rokok adalah produk yang memiliki tingkat bahaya yang sama bagi kesehatan.
Dengan adanya informasi yang jelas, maka diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan merokok yang mengkhawatirkan," kata Aji.
Menurutnya, selain memisahkan regulasinya dari rokok dan memberikan informasi transparan kepada publik, misalnya dengan adanya aturan mengenai peringatan kesehatan yang berbeda dari rokok, pemerintah juga perlu meninjau tarif cukai HPTL.
Baca juga: Pakar: Produk tembakau alternatif perlu dukungan pemerintah
Tarif cukai yang terlampau tinggi, yaitu 57 persen membuat perokok dewasa sulit menjangkau produk ini. Selain itu, tarif tertinggi tersebut juga memberikan pesan yang salah kepada konsumen, padahal kenyataannya eksternalitas negatif produknya lebih rendah dari rokok. Kondisi ini turut mempersulit peralihan dari rokok ke produk HPTL.
Di samping itu, regulasi yang dibedakan dari rokok akan mendukung riset dan pengembangan produk, serta dapat mendorong pertumbuhan pelaku usaha maupun investor pada industri HPTL.
“Mayoritas pelaku usaha di industri HPTL tergolong dalam Usaha Menengah dan Kecil Menengah (UMKM). Dampak positifnya adalah terciptanya lapangan pekerjaan baru dan menambah pemasukan bagi negara pada periode sulit ini,” katana.
Menurut catatan, penerimaan negara dari cukai HPTL terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada akhir 2018 penerimaan cukai HPTL sebesar Rp99 miliar, lalu melonjak menjadi Rp427,01 miliar pada 2019, dan pada akhir 2020 lalu mencapai Rp689 miliar.
Insentif untuk HPTL dapat berupa kebijakan cukai dan regulasi yang berbeda dari rokok konvensional, mengingat industri HPTL padat inovasi dan punya sifat pengurangan risiko. Kerangka regulasi yang sesuai juga diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang industri tersebut.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021