"Masih berpeluang dibahas karena dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang 2020-2024, pada nomor 129, masih ada RUU Nomor 7/2017 tentang Pemilu," kata dia, melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Selasa malam.
Ia mengemukakan hal itu ketika merespons kesimpulan Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI dengan Menkumham dan Panitia Perancang UU DPR dalam rangka Penyempurnaan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2021 dan perubahan Prolegnas RUU 2020-2024 yang menyetujui untuk menyepakati RUU tentang Pemilu ditarik dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2021.
Baca juga: Komisi II sebut revisi UU Pemilu bagian penyempurnaan sistem demokrasi
Dengan adanya kesimpulan rapat pada hari Selasa, lanjut Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), RUU Pemilu tidak akan dibahas pada 2021. Kendati demikian, masih ada peluang dibahas pada tahun berikutnya.
Begitu pula terkait dengan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, masih terdapat dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020-2024 pada nomor 160.
Sejarah perubahan UU Nomor 1/2015, kata dia, sebenarnya sudah tiga kali, yakni UU Nomor 8/2015, UU Nomor 10/2016, dan terakhir UU Nomor 6/2020.
"Berarti kalau dia masuk ke long list (daftar panjang) akan menjadi perubahan yang keempat. Biasanya kalau sudah berubah berkali-kali, undang-undang yang lalu diganti, tidak diubah," kata wakil sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah ini.
Baca juga: Fraksi NasDem enggan revisi UU Pemilu-Pilkada dipisah
Karena kedua UU itu masih masuk dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020-2024, berarti pembahasannya bisa pada 2022 sampai 2024. Namun, bila revisi itu mendekati 2024, menurut dia, bakal mengganggu penahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
"Bukanlah pilihan yang mudah kalau berangkat dengan persiapan secara tergesa-gesa dan tambal sulam. Hal ini tentu akan membuat kompleksitas bertambah rumit dan tentu akan membebani tidak hanya penyelenggaraan, tetapi juga pemilih dan partai politik peserta pemilu," katanya.
Hal lain yang patut dipertimbangkan, lanjut dia, adalah masa jabatan KPU dan Badan Pengawas Pemilu berakhir pada April 2022, sementara rekrutmennya dimulai akhir 2021.
Baca juga: F-PPP DPR: Revisi UU Pemilu-Pilkada sebaiknya dilakukan setelah 2024
Menyinggung soal kemungkinan tidak ada revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, dia menyebutkan banyak perubahan dan penyesuaian teknis yang akan mengandalkan peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Dalam hal ini, kata dia, KPU akan menjadi tumpuan dalam upaya mengatasi kompleksitas dan permasalahan pemilu sebagaimana yang pernah mereka hadapi sebelumnya.
Baca juga: Pengamat: Revisi UU Pemilu untuk dorong reformasi parpol
Titi mengingatkan bahwa banyak hal yang tidak bisa sepenuhnya mengandalkan PKPU. Misalnya, soal penggunaan teknologi rekapitulasi suara elektronik.
"Jika ingin digunakan, tidak bisa sepenuhnya menggantikan rekap manual sebab UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu masih mengatur penggunaan rekap manual dalam penyelenggaraan pemilu. Itu salah satu contoh saja," katanya.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021