Desrina (36) berkali-kali harus merelakan kesempatan untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19 karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan.
Padahal pekerjaannya sebagai jurnalis memiliki risiko tinggi terinfeksi COVID-19, terutama saat liputan di lapangan. Sejak lima tahun yang lalu, Desrina mengidap salah satu penyakit autoimun yakni lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE).
Imun atau kekebalan tubuhnya yang seharusnya melindungi tubuhnya dari berbagai penyakit, justru menyerang organ-organ yang ada di tubuhnya. Kondisi itu pula yang menyebabkan dirinya belum bisa mendapatkan vaksinasi COVID-19.
“Dokter belum merekomendasikan penyintas autoimun untuk mendapatkan vaksinasi,” katanya lirih.
Padahal sebagai seorang penyintas autoimun, dirinya rentan terinfeksi COVID-19 dan sangat membutuhkan vaksinasi tersebut agar tetap dapat produktif saat pandemi. Ia mengaku tak sendiri, banyak teman-temannya sesama penyintas yang merasakan hal yang sama, yang ingin sekali divaksinasi COVID-19 namun harus merelakan kesempatan yang sudah di depan mata.
Untuk sementara, Desrina harus bersabar menanti vaksin yang tepat bagi penyintas autoimun seperti dirinya. Hingga kini, Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) belum merekomendasikan penyintas autoimun untuk mendapatkan vaksinasi vaksin Sinovac. Meskipun sudah direkomendasikan untuk penyintas kanker yang terkendali.
Sejauh ini, terdapat 80 jenis penyakit autoimun. Penyakit autoimun sebagian besar menyerang kaum hawa pada usia produktif. Hingga kini, penyakit autoimun belum bisa disembuhkan, namun penyakit tersebut dapat mengalami remisi atau hilangnya gejala suatu penyakit dan sewaktu-waktu penyakit tersebut dapat kambuh kembali atau relaps.
Belum diketahui secara pasti berapa prevelansi autoimun di Tanah Air.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Iris Rengganis SpPD-KAI, mengingatkan penyintas autoimun untuk berhati-hati sebelum menerima vaksinasi COVID-19.
“Harus berhati-hati dan juga tergantung dengan kondisi penyintas autoimun tersebut. Jika terkontrol dengan baik dan tidak minum obat-obatan imunosupresan maka sudah bisa untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19,” ujar Iris.
Imunosupresan adalah golongan obat yang digunakan untuk menurunkan sistem kekebalan tubuh dan biasa digunakan pasien autoimun. Konsumsi obat golongan imunosupresan menghambat pembentukan antibodi melalui vaksin.
Iris menjelaskan untuk penyintas autoimun seperti gangguan tiroid dapat divaksinasi. Sementara untuk gangguan autoimun seperti lupus perlu untuk dilihat kembali kondisinya, apakah gangguan autoimunnya berat atau tidak.
Jika dilakukan pemeriksaan dan hasilnya remisi maka tidak apa-apa untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19, karena autoimun seumur hidup.
Iris menjelaskan seseorang dengan autoimun dapat divaksinasi COVID-19 jika tidak memiliki gejala. Selain itu harus melakukan konsultasi dengan dokter yang merawatnya serta menyertakan surat rekomendasi sebelum mendapatkan vaksinasi.
Baca juga: Penderita autoimun tidak bisa sembarangan konsumsi imunostimulan
Baca juga: Pakar: Autoimun terkontrol baik jika faktor pencetus bisa dikendalikan
Vaksin yang tepat
Pakar vaksin yang merupakan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (FK Untar), Tommy Setiawan, MD MS (And) MSc (Biomed), mengatakan di dunia angka yang positif terjangkit COVID-19 telah melampaui lebih dari 100 juta orang dengan kematian yang lebih dari 2.5 juta jiwa. Sementara angka kematian lansia di Indonesia mencapai sekitar 47,3 persen dan di Amerika sekitar 53 persen.
Untuk menanggulangi pandemi ini sangat diperlukan pencegahan dengan vaksinasi COVID-19 disamping menerapkan protokol kesehatan 5 M.
Tujuan vaksinasi COVID-19 adalah untuk membentuk kekebalan kelompok dengan cara memutus rantai penularan virus, membuat lingkungan populasi sekitar menjadi kebal terhadap virus, menurunkan morbiditas, mortalitas, eradikasi pandemi dan mempercepat pemulihan perekonomian.
Manfaat vaksinasi sangat menolong untuk mencegah sakit COVID-19, meringankan gejala penyakitnya bila terkena infeksi. Juga meringankan biaya pengobatan yang sangat mahal, mengurangi beban dokter, paramedis dan beban daya tampung rumah sakit.
Dia menjelaskan vaksinasi harus terus digalakkan untuk mempercepat eradikasi pandemi COVID-19 dan terciptanya kekebalan komunal. Memilih vaksin terbaik dan aman untuk vaksinasi COVID-19, perlu dipertimbangkan beberapa faktor termasuk jenis vaksin, cara produksinya, cara kerjanya, efikasinya, efek samping, keuntungan dan kerugiannya.
Untuk penduduk yang memiliki penyakit penyerta, maka dia menyarankan untuk menggunakan vaksin Novavax. Vaksin Novavax adalah vaksin protein subunit dan dikenal juga sebagai vaksin acellular, yakni vaksin yang memakai sebagian fragment protein virus memicu reaksi immune membentuk antibodi terhadap virus.
Keuntungan vaksin Novavax adalah tidak ada komponen hidup (acellular), aman untuk yang ada komorbid, karena tidak memicu penyakit.
Efikasi 85-89 persen. Boleh untuk usia 18-84 tahun. Risiko efek samping hampir tidak ada. Biaya produksi murah, lebih stabil dan juga 85.6 persen efektif terhadap variant UK B117 .
Kerugiannya, tidak efektif untuk varian South Africa B1351. Respon imun lamban, sehingga perlu diberi adjuvant atau booster. Selain itu, cara produksi rumit. Perlu bakteri atau plasmid. Kebersihan ketat agar tidak terkontaminasi.
Cara kerja vaksin protein subunit adalah melalui ekspos kontak molekul pathogen dengan cara menyuntikkan fragmen protein spesifik virus yang telah dimurnikan, untuk stimulasi sel immune. Suntikan dapat secara intra-muscular (IM), electroporation dengan senjata gen atau injectable hydrogel.
Electroporation adalah gelombang pendek aliran listrik untuk menciptakan pori sementara pada membrane cell dengan gene gun yang memakai helium mendorong DNA masuk ke dalam kulit, yang kemudian menyatu dengan sel membran.*
Baca juga: Pakar: Penyembuhan penyakit autoimun harus menyeluruh
Baca juga: Pakar: Autoimun umumnya serang perempuan
Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021