Namun, belakangan, setelah kasus suap ekspor benih lobster terkuak, kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan itu mengakui banyak persyaratan yang dilanggar dan dinilai justru turut "membunuh" pembudidaya lokal.
"Kenapa dulu kami mendukung, karena waktu itu disampaikan ada kriteria-kriteria untuk bisa ekspor. Misalnya, harus punya budidaya, dan hasil budidayanya sebagian dia lepasliarkan. Nah ternyata hasil survei kami, tidak seperti itu kenyataannya," kata Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin dalam konferensi pers virtual, Selasa.
Baca juga: Mantan Dirjen: Ekspor benih lobster sumbang sedikit uang untuk negara
Safri menuturkan, kini pihaknya mendukung penuh larangan ekspor bening benih lobster (BBL) atau benur yang telah ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, meski kebijakan tersebut masih bersifat sementara.
Pasalnya, jika kompetitor Indonesia diberi benih yang banyak, otomatis mereka akan mengontrol pasar. Dengan kondisi tersebut, ketika Indonesia telah berhasil melakukan budidaya dan ingin mengekspor lobster hasil budidaya, Indonesia tidak lagi memiliki pasar tersebut.
"Ingat, yang makan lobster itu terbatas, hanya di daerah tertentu dan di hari besar tertentu. Kita kan mau mengurangi produksi kompetitor kita. Kalau kita bisa kurangi BBL kita dikirim, otomatis kita bisa kontrol pasar," katanya.
Safri pun menyesalkan kebijakan yang lalu, yang mengizinkan ekspor benur. Ia mengaku persetujuan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pun dilakukan atas kajian KKP bahwa ekspor dilakukan selama pelepasannya masih terkontrol.
Baca juga: Mantan Dirjen KKP ungkap kejanggalan ekspor benih lobster
"Beberapa persyaratan yang dilakukan, hampir semuanya itu banyak yang dilanggar. Sehingga kita katakan, kalau begini caranya memang kita membunuh pembudidaya kita karena kita utamakan ekspor BBL," katanya.
Safri mengatakan, Kemenko Marves mendukung penuh larangan ekspor benur. Ia menegaskan, budidaya lobster harus diperkuat guna memperkuat pasar ekspor lobster. Pemerintah akan melakukan pengembangan lobster secara terpusat di salah satu wilayah di Indonesia guna menekan biaya produksi dan mendorong daya saing hasil budidaya lobster lokal.
Ia menambahkan, untuk melindungi sumber daya lobster Indonesia, kebijakan moratorium ekspor benur bisa dilakukan sambil menunggu hasil budidaya yang dilakukan di dalam negeri. Soal waktunya, Safri menilai kemungkinan butuh waktu satu hingga dua tahun untuk bisa menghasilkan lobster budidaya yang siap diekspor, baru kemudian dievaluasi kembali kebijakan terkait ekspor benur.
"Jadi kita perkuat mereka (budidaya), kita kasih waktu mereka berkembang, kita lindungi dengan tidak memberikan ekspor BBL sehingga waktu (lobster) besar, lawannya (kompetitor Indonesia) lemah karena dia (kompetitor) tidak punya banyak stok," katanya.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021