Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Prof Henri Subiakto mengatakan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bukanlah kitab suci, sehingga layak direvisi untuk perbaikan ke depannya.Ini untuk memperjelas norma dan tidak diinterpretasi salah
"Ini untuk memperjelas norma dan tidak diinterpretasi salah," kata Prof Henri pada diskusi daring dengan tema revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Selain itu, menurutnya lagi, revisi UU ITE juga bertujuan agar norma yang belum ada, termuat dalam undang-undang tersebut. Padahal, kejahatannya sudah banyak terjadi dan merugikan masyarakat. Dengan kata lain, menyempurnakan agar sesuai dengan tuntutan masyarakat.
"Selain itu, ini juga bertujuan agar tidak mengecewakan rakyat demi mewujudkan internet yang sehat, bersih, dan produktif," kata dia lagi.
Dia menjelaskan, secara umum, penggunaan undang-undang yang diinisiasi oleh legislatif dan eksekutif tersebut, didominasi perkara antara masyarakat dengan masyarakat dan jarang sekali terjadi antara masyarakat dengan pejabat.
Setelah direvisi ternyata perkara yang terjadi terkait UU ITE, juga masih dominasi antara masyarakat dengan masyarakat dengan media utama yang digunakan yakni facebook sebanyak 52,46 persen.
Yang dilarang dalam undang-undang tersebut ialah pencemaran nama baik, delik pencemaran nama baik Pasal 27 ayat 3 yang diancam pidana penjara maksimal enam tahun dan denda satu miliar rupiah. Pasal tersebut sejatinya sering digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dua kali ditolak MK dan satu ditarik oleh pemohon," katanya pula.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Prof Otto Hasibuan mengatakan sebagai salah satu organ negara, lembaga tersebut memiliki fungsi sebagai penjaga hukum dan penjaga konstitusi, sehingga revisi UU ITE harus dikawal.
"Advokat dalam suatu undang-undang yang akan direvisi memiliki peran dan fungsi sebagai pelaksana undang-undang dari segala masalah yuridis dalam perumusan dan implementasi UU ITE," ujarnya.
Ia mengatakan revisi UU ITE telah banyak diuji ke MK. Oleh sebab itu, demi hukum seharusnya putusan MK ditindaklanjuti menjadi muatan materi dalam revisi UU ITE.
Demi tegaknya hukum kebenaran dan keadilan, advokat wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia sebagai mana yang dinyatakan dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), ujar dia pula.
Baca juga: Pakar hukum pertanyakan dampak UU ITE terhadap kesehatan demokrasi
Baca juga: Tim Kajian UU ITE undang asosiasi Pers
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021