• Beranda
  • Berita
  • Sembilan fakta di balik papeda dari Jungle Chef Charles Toto

Sembilan fakta di balik papeda dari Jungle Chef Charles Toto

12 Maret 2021 07:25 WIB
Sembilan fakta di balik papeda dari Jungle Chef Charles Toto
Chef Charles Toto memperagakan cara menggulung papeda kepada pengunjung Ungkea Jungle Resto. (ANTARA/HO)
Hutan adalah pasar bagi masyarakat Papua yang bisa bisa mendapatkan kebutuhan harian dari hutan, termasuk makanan pokok, lauk, dan sayur. Charles Toto alias Chato yang dikenal dengan sebutan Jungle Chef mengatakan dalam siaran resmi, masyarakat yang tinggal di kampung dapat mengonsumsi apa yang sudah ada di hutan. Chef Chato, yang sering keluar-masuk hutan membawa turis asing dan domestik, pun sering "belanja" bahan pangan di hutan, dan memasak di tengah belantara, salah satunya sagu, bahan baku papeda.

Filosofi di meja makan
Saat satu keluarga menggunakan helai dan makan papeda dari satu hote yang sama, saat itulah papeda menyimpan makna yang dalam. Helai adalah peralatan makan tradisional dari kayu untuk menyajikan papeda, sedangkan hote adalah piring kayu untuk menyantap papeda. Masyarakat Sentani menyebut tradisi makan papeda dari satu piring yang sama dalam satu keluarga sebagai helai mbai hote mbai. Mbai berarti satu.

Filosofinya, makan dalam satu keluarga menyimpan cerita untuk masa depan anak dan cucu. Karena, acara makan bersama yang menandai ikatan kekeluargaan itu menjadi ruang diskusi antara ayah, ibu, dan anak, menjadi ruang kecil untuk bermusyawarah.

Cara ambil: digulung
Karena teksturnya serupa lem, mentransfer papeda dari wadah ke piring makan nyaris tak mungkin dilakukan dengan sendok besar sekalipun. Mengambil papeda perlu trik tersendiri. Di acara adat Papua, alat mengambil yang wajib digunakan adalah hiloi, serupa garpu besar. Tapi, garpu biasa kini sudah sering digunakan di rumah tangga.

Cara mengambilnya, genggam dua garpu masing-masing di tangan kiri dan kanan, benamkan kedua garpu ke papeda, tarik garpu ke atas dengan posisi horizontal, lalu gulung papeda di garpu kiri dan kanan hingga membentuk gumpalan agak besar, transfer ke piring. Ada yang menggulungnya ke arah dalam, ada yang ke arah luar. Arah menggulung ini bisa menunjukkan asal daerah seseorang.

Papeda bisa dibuat sendiri dari sagu supermarket
Ingin coba membuat papeda? Gunakan saja tepung sagu yang dijual di supermarket. Tapi, untuk membuat papeda yang kualitasnya menyamai papeda Papua, Chef Chato memberi trik. “Sebelum dimasak, rendam dahulu tepung sagu di dalam air bersih selama kurang lebih 15 menit, ambil pati yang mengendap, campur dengan air untuk dibuat papeda. Teksturnya akan sama dengan papeda di Papua."
 
Pengunjung menyantap papeda atau bubur sagu saat menghadiri Festival ÒHelay Mbay Hote MbayÓ di Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (30/9/2019). Pesta makan papeda serta pameran kerajinan tangan tersebut untuk melestarikan tradisi turun temurun sekaligus meningkatkan potensi pariwisata Sentani. ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj. (ANTARA FOTO/Gusti Tanati)


Ada papeda versi lontong
Papeda yang kerap kita lihat umumnya berupa bubur. Tapi, sebetulnya ada papeda yang bentuknya seperti lontong, namanya papeda bungkus. Proses pembuatannya seperti papeda biasa. Setelah matang, papeda dibungkus daun pisang atau daun fotovea (dalam bahasa Sentani disebut waibu). Uniknya, daun waibu tersedia di alam dalam dua varian warna, yaitu merah hati dan hijau. Daun pisang dan fotovea berperan sebagai penambah aroma, sehingga papeda bungkus menebarkan aroma yang khas.

Daya simpan papeda bungkus ini bisa sampai satu bulan. “Tak perlu disimpan di kulkas, tak perlu dihangatkan berulang-ulang. Simpan saja di meja,” kata Chef Chato, yang mengajak pemilik resto Papua di Jakarta untuk menggali kekayaan cita rasa resep tradisional Papua langsung di Tanah Papua.

Baca juga: Bisa belanja fesyen dan kuliner Danau Toba di Tangerang

Baca juga: Tips bisnis kuliner makin "cuan"


Sinole, papeda berbumbu kaldu
Papeda tradisional rasanya hambar, karena campurannya hanya sagu, air jeruk (sebagai pengental), dan air. Yang menambah rasa adalah lauk dan sayur yang mendampinginya. Tapi, seperti nasi uduk yang berbumbu, ada pula papeda yang diberi bumbu. Hanya saja, kalau sudah dibumbui namanya bukan lagi papeda, melainkan sinole.

Sebelum dimasak, sagu dikeringkan dahulu dengan cara disangrai hingga mengeluarkan aroma asap yang sedap. Kemudian, sagu dimasak dalam kaldu ikan atau kaldu daging yang sudah dimasak selama 2-3 hari agar rasanya intens, sambil terus diaduk hingga mengental. Ketika sinole matang, tinggal disantap saja, tak perlu ditemani lauk, karena di dalamnya sudah ada potongan-potongan ikan.

Mampu lenyapkan flek di paru-paru
Papeda bungkus punya khasiat unik, yaitu bisa membersihkan paru-paru dari flek. Karena itu, papeda bungkus yang sudah menginap beberapa hari sering dikonsumsi oleh mereka yang akan menjalani tes untuk masuk kepolisian atau militer. “Paling bagus jika papeda bungkus diembunkan. Secara umum sudah banyak yang membuktikan, tapi secara ilmiah masih perlu diteliti zat apa yang terkandung pada sagu sehingga bisa membersihkan paru-paru,” kata Chef Chato, yang bisa membuat pizza dan pancake di belantara.

Bebas gluten, rendah gula
Saat ini banyak anak yang alergi terhadap gluten. Tanpa perlu repot-repot mencari produk gluten free impor, papeda bisa menjadi solusi. Selain itu, papeda juga rendah gula, sehingga tepat dikonsumsi oleh penderita diabetes atau oleh orang yang sedang ingin menurunkan berat badan.

Makin tergeser oleh nasi
Chef Chato mengamati, makin lama papeda makin tergeser oleh nasi. Perubahan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Ketika berusia sekitar 7 tahun, ia sudah mengenal beras. Ketika itu ada kebijakan pemerintah membuka lahan persawahan di Papua. “Dulu ada stigma bahwa makan nasi itu modern, bahwa nasi itu untuk masyarakat yang mampu, bahwa kelas nasi lebih tinggi daripada papeda. Informasi semacam ini membuat orang dari kampung merasa bahwa makan papeda dan ikan itu kualitasnya lebih rendah, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong mencari nasi,” kata Chef Chato, yang kerap mendapatkan undangan dari luar negeri untuk memamerkan kekayaan kuliner Papua.

Karena itu, ia selalu gencar menyampaikan pesan bahwa apa yang mereka miliki di kampung sebetulnya lebih baik. Ia berharap, masyarakat Papua paham bahwa menjaga pangan lokal merupakan hal penting.

Bisa dikonsumsi bayi usia 6 bulan
Kalau melihat tekstur papeda yang liat, rasanya sulit membayangkan jika bayi juga bisa mencernanya. Bagaimana cara menyuapkan papeda untuk bayi? Setelah matang, papeda dimasukkan ke dalam air dingin yang bersih hingga teksturnya jadi lebih kental dan bisa dipotong-potong. Potongan kecil inilah yang disuapkan pada bayi. Untuk melengkapi kebutuhan gizinya, potongan papeda itu dikonsumsi dengan ikan kecil sehingga tulangnya juga bisa dimakan, misalnya ikan teri.

Tapi, apakah usus bayi sudah mampu mencerna papeda? “Papeda lembut untuk bayi, karena 60 persennya adalah air, sehingga baik untuk pencernaannya,” kata Chef Chato, yang bersama Papua Jungle Chef Community bentukannya terus mendata bahan-bahan makanan lokal asli Papua. Anda juga boleh konsultasi dulu ke dokter anak sebelum memberikan papeda kepada si kecil.

Baca juga: Bisnis kuliner Dimas Beck raih pendanaan dari AKM

Baca juga: Kiat membuat ganache agar kue semakin lezat

Baca juga: Wisata, baju tradisional dan kuliner Indonesia dipromosikan di Korut

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021