"Silakan datang ke daerah kami untuk melaporkan situasi yang sebenarnya saat bulan Ramadhan nanti," kata Abdul Wali Ablimit dari Asosiasi Muslim Xinjiang di Beijing, Kamis.
Ajakan tersebut, jelas dia, agar media tidak salah dalam melaporkan situasi Ramadhan di daerah otonomi yang banyak dihuni oleh etnis minoritas Muslim Uighur.
"Selama ini media-media asing selalu saja membuat berita larangan puasa Ramadhan bagi Muslim Uighur yang tidak sesuai fakta," ujar pria yang sehari-hari bertindak selaku khotib di masjid Kabupaten Shache, Prefektur Kashgar, itu.
Ia menegaskan bahwa tidak ada larangan untuk menunaikan ibadah puasa bagi umat Islam di wilayah baratlaut China itu.
"Saya, orang tua, istri, (anggota) jamaah di masjid, semuanya berpuasa selama bulan Ramadhan," ujar Abdul Wali menjawab pertanyaan ANTARA.
Masjidnya pun selalu penuh oleh jamaah shalat lima waktu selama bulan Ramadhan.
"Kalau malam, kami juga menggelar shalat tarawih," katanya.
Pada bulan Ramadhan tahun lalu, menurut dia, masjid-masjid di Xinjiang menerapkan protokol kesehatan antipandemi COVID-19.
"Pemerintah mengerahkan petugas kesehatan dan memberikan bantuan alat medis ke masjid-masjid," ucapnya.
Selain itu, makanan pembuka puasa atau iftar juga dicukupi oleh otoritas lokal.
"Puasa Ramadhan itu bagian dari rukun Islam. Dan, hal ini normal dilakukan umat Islam di China, termasuk suku Uighur," katanya dalam acara temu media asing yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang dan Kementerian Luar Negeri China itu.
Hampir setiap bulan Ramadhan, media-media global selalu menyoroti aktivitas etnis Muslim Uighur terkait dugaan larangan menunaikan rukun Islam yang ketiga itu.
Baca juga: Asosiasi Islam Xinjiang desak AS hentikan politisasi agama
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021