Keadaan memang berubah laksana pedang bermata dua, ketika suatu negara bisa semakin jatuh tersunggur sebaliknya justru bangkit dan lebih baik dari sebelumnya.
Indonesia, tanpa kecuali, menjadi salah satu negara yang keras terdampak pandemi. Namun tak seperti negara-negara lain pada umumnya, Indonesia memilih untuk menerapkan kebijakan zona tengah yang tidak terlampau “ekstrim” atau reaktif.
Faktanya pelan tapi pasti, seiring kebijakan vaksinasi yang mulai berjalan, sinyal-sinyal kebangkitan mulai dapat dirasakan, ketika gerak ekonomi mulai pulih dan aktivitas bisnis mulai menggeliat.
Pemerintah kemudian berupaya mencari cara percepatan dan akselerasi untuk memulihkan kondisi perekonomian yang sempat lumpuh dihantam dampak pandemi.
Sampai disadari bahwa digitalisasi telah menjembatani segala hal yang tak bisa dilakukan selama pandemi. Maka, semua menyadari bahwa digital skill alias keterampilan digital adalah kunci bagi upaya percepatan pemulihan ekonomi di tanah air.
Baca juga: Sri Mulyani ungkap 4 alasan transaksi digital perlu diatur ketat
Keterampilan digital (digital skill) juga diyakini akan menjadi modal utama bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita sebagai negara maju pada 2045 mendatang.
Lewat kelihaian para generasi muda dalam mengelola teknologi digital itulah, diharapkan nantinya lahir inovasi dan terobosan yang mampu menguatkan ekonomi bangsa.
Rumusan tersebut setidaknya disepakati oleh Institute of Social Economic Digital (ISED), Google Indonesia, dan Alphabeta, konsultan strategi dan ekonomi dari Singapura yang secara fokus membahas upaya mewujudkan visi Indonesia Maju 2024 melalui peningkatan keterampilan digital.
Digital Talent Founder ISED Sri Adiningsih mengatakan, Indonesia Emas pada 2045 yang maju, adil, sejahtera hanya bisa dicapai jika Indonesia membangun digital talent yang berdaya saing global.
Selain itu, infrastruktur digitalisasi yang berkualitas juga menuntut bisa dilakukan secara merata di seluruh Tanah Air, sebagaimana diyakini Sri Adiningsih.
Sri Adiningsih mengatakan, masa pandemi COVID-19 menimbulkan sejumlah ketidakpastian ekonomi dan berdampak serius pada pasar tenaga kerja.
Pada tahun 2020 perekonomian global mengalami kontraksi 4 persen sebagai dampak dari kebijakan “lockdown” dan pembatasan sosial yang diterapkan di hampir seluruh negara di dunia. Demikian pula di Indonesia, lanjutnya, perekonomian juga terkontraksi sebesar 2,07 persen.
Baca juga: Kominfo: Startup berkontribusi terhadap ekonomi digital
Perubahan ekonomi ini menunjukkan adanya kesenjangan keterampilan (“skills mismatches”) dan menjadi tantangan besar hampir di seluruh industri.
Menurut Sri, di tengah kondisi yang tertekan ini, Indonesia perlu melakukan reskilling dan upskilling yang sistematis agar mampu menghadapi tantangan besar tersebut.
Sistem pendidikan dan pelatihan di Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan perubahan pola dan permintaan tenaga kerja, serta membuka akses pelatihan dan pengembangan keterampilan seluas-luasnya untuk semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kolaborasi yang efektif antara para pemangku kepentingan adalah sebuah keharusan.
Di sisi lain Engagement Manager AlphaBeta Genevieve Lim juga mengatakan, peningkatan keterampilan digital di Indonesia akan sangat penting untuk ekonomi masa depan.
Saat ini, faktanya, pekerja dengan keterampilan digital berkontribusi sekitar Rp908 triliun pada ekonomi Indonesia. Jumlah ini, tergolong lumayan karena mencapai sekitar 6 persen dari pendapatan domestik bruto.
Namun meskipun ini adalah nilai yang cukup besar, riset AlphaBeta menunjukkan bahwa angka ini dapat tumbuh bahkan lima kali lebih besar, menjadi sebesar Rp4,434 triliun pada tahun 2030 atau 16 persen dari pendapatan domestik bruto.
Lim menilai, pandemi COVID-19 telah memperbesar pentingnya keterampilan digital. Artinya, pada situasi ini, bisnis dalam sektor ekonomi apapun harus berdigitalisasi agar dapat tetap bertahan bahkan menjadi penguasa pasar.
Keterampilan digital tidak hanya penting untuk sektor teknologi, namun juga sektor nonteknologi. Sekitar tiga perempat (73 persen) dari nilai keterampilan digital dikontribusikan oleh pekerja di sektor non-teknologi seperti manufaktur dan layanan profesional.
Tiga Area
Potensi besar digitalisasi selanjutnya terpetakan dalam ruang-ruang digital yang dapat digarap secara parsial namun terintegrasi.
Setidaknya, ada tiga area tindakan penting yang diperlukan untuk menangkap kesempatan dalam peningkatan keterampilan digital ini.
Pertama, membekali tenaga kerja saat ini dengan keterampilan digital. Kedua, mempersiapkan talenta digital untuk generasi berikutnya. Ketiga, memperluas kesempatan peningkatan keterampilan digital kepada komunitas minim pelayanan seperti daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Pada tiga area tersebut, berbagai pihak, Google misalnya sudah turut berkontribusi melalui berbagai macam program, seperti “Grow with Google”. Program ini memberikan pelatihan keterampilan digital secara online kepada lebih dari 320.000 UMKM dalam masa pandemi COVID-19 ini.
Selain itu, ada program “Bangkit”, yakni melatih pekerja developer untuk perusahaan teknologi lokal dan Program “WomenWill”, yaitu membantu ibu-ibu untuk menggunakan teknologi untuk membangun bisnis.
Tercatat sudah ada lebih 550.000 ibu di seluruh Indonesia yang mengikuti program ini, sebagaimana disebutkan Danny Ardianto, Public Policy & Government Relations Manager Google Indonesia.
Sejalan dengan itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sangat mengapresiasi begitu banyak pihak yang melakukan inisiatif untuk turut serta mendorong pelaku usaha di tanah air untuk go digital.
Meski digitalisasi banyak yang melihatnya juga sebagai ancaman, namun Teten mangajak pelaku usaha khususnya UMKM untuk mengasah skill digitalnya saat akan go online.
Sebab mereka yang go online untuk memasarkan produknya bahkan bisa saja tidak akan pernah punya waktu untuk tidur lantaran pasar yang membludak. Skill digital itu pula yang ternyata menjadi rahasia bagi kebangkitan ekonomi suatu negara termasuk juga bagi Indonesia.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021