• Beranda
  • Berita
  • Kementerian ESDM ungkap landasan pengembangan hilirisasi batu bara

Kementerian ESDM ungkap landasan pengembangan hilirisasi batu bara

19 Maret 2021 14:07 WIB
Kementerian ESDM ungkap landasan pengembangan hilirisasi batu bara
Ilustrasi - Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (15/2/2021). ANTARA/Nova Wahyudi.

Sebanyak 85 persen PNBP berasal dari subsektor batu bara, ini realita yang masih kami pegang hingga saat ini

Ketika banyak negara di dunia mulai mengurangi bahkan menghentikan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi primer, Indonesia masih bersikukuh mempertahankannya, mengingat 85 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bidang minerba berasal dari batu bara.
 
"Sebanyak 85 persen PNBP berasal dari subsektor batu bara, ini realita yang masih kami pegang hingga saat ini," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam diskusi daring bertajuk " Transformasi Bisnis Sektor Batu Bara"  yang dipantau di Jakarta, Jumat.
 
Pada 2020 sebanyak 85 persen PNBP batu bara tercatat sebesar Rp29,4 triliun dari total PNBP minerba yang berjumlah Rp34,6 triliun.
 
Indonesia menghadapi tantangan besar mengingat komitmen global untuk menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dengan memangkas penggunaan batu bara hingga 40 persen pada tahun 2050.

Baca juga: Pemerintah buka skema perdagangan emisi karbon PLTU batu bara
 
Merujuk data Badan Geologi tahun 2019, sebanyak 90 persen cadangan batu bara di Indonesia memiliki kalori sedang dan rendah dengan sumber daya mencapai 149,01 miliar ton dan cadangan sebesar 37,46 miliar ton.
 
Jenis batu bara berkalori sedang dan rendah ini biasa dimanfaatkan untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), pabrik semen, kertas, metal, dan tekstil.
 
"Demi menjaga keberlangsungan industri batu bara pilihannya adalah hilirisasi. Inilah realita yang kita hadapi yang menjadi dasar untuk membuat skenario pemanfaatan batu bara ke depan," kata Ridwan Djamaluddin.
 
Ketika permintaan ekspor batu bara terus menurun karena terikat perjanjian Paris Agreement, pemerintah membangun permintaan lokal agar tetap stabil melalui teknologi baru gasifikasi batu bara.
 
Kepentingan bisnis yang melekat terhadap skenario hilirisasi tersebut dilakukan melalui penggarapan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimetil eter (Dme) yang dilakukan oleh PT Bukit Asam (Persero) di Sumatera Selatan. Kemudian, gasifikasi batu bara menjadi produk methanol yang dikerjakan oleh PT Bumi Resources di Kalimantan Timur.

Baca juga: Komisi VII DPR minta Pertamina percepat proyek gasifikasi batu bara
 
Pemerintah juga menyiapkan dukungan regulasi untuk percepatan hilirisasi batu bara berupa insentif royalti harga khusus batubara untuk hilirisasi sebesar 0 persen.
 
Selain itu jangka waktu perpanjangan pemberian insentif hilirisasi juga disesuaikan dengan keekonomian proyek hilirisasi. Pemerintah tidak lagi membatasi durasi seperti sebelumnya, bila proyek itu masih dianggap ekonomis, maka perpanjangan insentif akan terus mengalir.
 
"Proyek hilirisasi batu bara akan mengurangi dampak negatif lingkungan dengan menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan," kata Ridwan Djamaluddin.
 
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa kebijakan hilirisasi batu bara tetap memiliki risiko, sehingga perlu ditinjau ulang terkait penerapan kebijakan dalam mendukung pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.

Baca juga: Co-firing biomassa jadi strategi PLN kurangi emisi karbon PLTU
 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021