Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar menyampaikan pernyataan itu saat menjawab pertanyaan dari salah satu anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat rapat dengar pendapat di Jakarta, Senin.
Boy menerangkan keterlibatan TNI dalam kerja pencegahan dan penanggulangan terorisme juga telah mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
Ia menjelaskan TNI hanya akan dilibatkan untuk ancaman terorisme intensitas tinggi, yang membutuhkan pengerahan pasukan secara langsung.
Baca juga: BNPT berencana usul KKB dan OPM ditetapkan jadi organisasi teroris
Baca juga: BNPT akan periksa identitas FTF yang diduga WNI usai pandemi
Baca juga: DPR RI desak BNPT kedepankan prinsip HAM dalam mencegah terorisme
Namun, keterlibatan langsung itu juga harus mendapat persetujuan secara politik dari Presiden Republik Indonesia dan DPR RI.
“Dalam konteks yang sifatnya penindakan, harus ada persetujuan (politik) dari presiden,” kata Boy menegaskan.
Sementara itu, terkait langkah pencegahan, TNI dinilai dapat membantu kegiatan-kegiatan pembinaan masyarakat. Di samping itu, TNI juga memiliki perangkat intelijen yang berfungsi sebagai deteksi dini terorisme.
BNPT bersama Komisi III menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas beberapa persoalan, di antaranya evaluasi kinerja dan program kerja BNPT, serta pelibatan TNI dalam kerja pencegahan dan penanggulangan terorisme.
Dalam rapat itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ichsan Soelistio mengajukan pertanyaan ke Kepala BNPT Boy Rafli mengenai sejauh apa keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.
Tidak hanya mengenai pelibatan TNI, Boy juga menerangkan BNPT juga membangun kerja sama dengan kementerian dan lembaga lain dalam upaya mencegah paham radikal terorisme dan menanggulangi aksi teror di dalam negeri.
Dalam pertemuan itu, BNPT mengumumkan pihaknya akan membentuk sekretariat bersama (sekber), yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam); Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK); Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Luar Negeri; dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Tugas sekretariat bersama ini mengkoordinasi, memantau, mengevaluasi pelaksanaan rencana aksi nasional pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme yang dilakukan (RAN PE) di masing-masing kementerian/lembaga,” terang Boy.
“Pelaporan minimal setahun sekali kepada presiden dan masyarakat umum sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas,” ujar Boy menambahkan saat rapat.
Rencana aksi nasional pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme merupakan salah satu implementasi cetak biru BNPT untuk mencegah paham radikal terorisme dan menanggulangi aksi teror.
Boy menyebut frasa “ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme” merupakan satu kesatuan yang harus disebut secara lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021