Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benur tersebut diduga tidak pernah ada.
"Pada persidangan sebelumnya, Saudara mengajukan surat tertulis tentang pengajuan justice collaborator sehingga itu masih kami cermati kami pelajari tentang urgensi atau relevansinya," kata ketua majelis hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan video conference dari gedung KPK. Dalam perkara ini, Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri atas 103.000 dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440,00 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait dengan pemberian izin ekspor dan budi daya benih bening lobster (BBL)
Baca juga: Terdakwa penyuap Edhy Prabowo mengakui ada permintaan "fee" Rp5 miliar
"Memang banyak perusahaan, 65 perusahaan bisa saja punya potensi (memberi suap) seperti Saudara. Persoalannya kenapa satu? Akan tetapi, bukan kewenangan majelis menjawab, hal itu ada pada penyidik," kata hakim Albertus.
Ia melanjutkan, "Nah, persoalannya, ini dari sekian yang diberi izin ekspor BBL maupun izin budi daya ada sekian perseroan atau perusahaan, tetapi yang dihadirkan di persidangan hanya satu, itu 'kan juga menjadi pertanyaan dan catatan majelis dalam hubungannya dengan permohonan Saudara."
Albertus menyatakan majelis masih belum membuat keputusan soal pemberian status justice collaborator pada sidang pembacaan vonis.
"Apakah kemudian urgensi dan relevansi pengajuan justice collaborator itu akan sedang kami pelajari dan nanti sebelum penyusunan surat tuntutan, kami akan menyatakan sikap atas permohonan Saudara. Jadi, masih ada waktu," ungkap hakim Albertus.
Menurut penasihat hukum Suharjito, Aldwin Rahadian, permohonan sebagai justice collaborator itu telah disampaikan sejak awal penyidikan.
"Bukan apa-apa karena ini iktikad baik dan kooperatif saja, apa pun akan siap terdakwa jawab dengan sejujur-jujurnya termasuk di BAP terdakwa bisa ditanyakan tentang hal-hal yang Saudara terdakwa ketahui juga," kata Aldwin.
Baca juga: Staf khusus Edhy ancam copot dirjen karena tak setuju ekspor benur
Menurut Aldwin, Suharjito juga tidak punya beban karena terlah mengakui perbuatannya.
"Dia memang mengakui perbutannya, ya, terlepas perbuatannya itu memenuhi unsur pidana atau tidak biar kemudian majelis hakim yang menilai karena Pak Harjito sendiri mengatakan dia memberikan uang karena diminta," ungkap Aldwin.
Aldwin menyebut kliennya hanya sebagai korban saat ingin mengurus izin ekspor dan budi daya benih lobster.
"Karena 'kan persyaratannya lengkap, jadi tidak ada yang dilanggar sebetulnya, mau suap diakukan atau tidak izin pasti keluar. Pak Harjito justru merasa sebagai korban dan mempertanyakan kenapa hanya dia sendiri?" kata Aldwin.
Ia menggatakan, "Coba kalau lihat sitaan KPK lebih puluhan miliar rupiah dia 'kan hanya mengakui memberikan 2 kali, yaitu 77.000 dolar AS dan 26.000 dolar AS, nah, yang disita puluhan miliar rupiah milik siapa?"
Baca juga: Stafsus jelaskan penyerahan suap ke Edhy Prabowo
Pada tanggal 15 Maret 2021, petugas KPK menyita uang sekitar Rp52,3 miliar yang diduga berasal dari para pengekspor BBL yang mendapatkan izin dari KKP pada tahun 2020.
Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekjen KKP agar membuat surat perintah tertulis terkait dengan penarikan jaminan bank (bank garansi) dari para pengeksor kepada Kepala Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) KKP.
Selanjutnya, Kepala BKIPM KKP memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno-Hatta untuk menerima bank garansi tersebut.
KPK menyebut aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benur tersebut diduga tidak pernah ada.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021