Pengacara publik Candra Dewi, yang turut menggagas pembentukan Taskforce (Satuan Tugas) KBGO, mengatakan masuknya RUU PKS ke prolegnas memberi sentimen positif, tetapi belum membantu penyelesaian masalah kekerasan yang kerap dialami banyak orang karena alasan gendernya, khususnya di ruang-ruang virtual — kondisi itu kemudian dikenal dengan istilah “Kekerasan Berbasis Gender Online”.
“Kami bisa mengatakan ada sentimen positif, tetapi apakah itu dapat membantu upaya taskforce? “ kata Candra saat sesi seminar virtual yang diadakan oleh Unit Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia secara virtual, Kamis.
Baca juga: Inggris sumbang Rp1,5 miliar kepada Indonesia untuk lawan "KBGO"
Baca juga: Kekerasan berbasis gender online jadi sorotan Indonesia-Inggris
Candra Dewi, yang saat ini turut aktif sebagai pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, lanjut menerangkan kekerasan berbasis gender online masih marak terjadi karena timpangnya relasi kuasa antargender yang tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga dunia maya.
Artinya, selama akar persoalan itu tidak terselesaikan, masuknya RUU PKS ke prolegnas hanya akan memberi harapan dan sikap optimis semata terhadap upaya bersama memberantas kekerasan berbasis gender online.
Walaupun demikian, Candra mendukung RUU PKS segera disahkan oleh DPR RI setelah rancangan beleid itu masuk dalam daftar prolegnas prioritas tahun ini.
Pasalnya, beberapa ketentuan dalam draf RUU PKS turut membantu upaya pelindungan korban KBGO.
Beberapa ketentuan RUU PKS, misalnya, mengatur mekanisme pendampingan korban kekerasan, sehingga para pendamping nantinya tidak dapat dijerat pidana, termasuk di antaranya oleh ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa kasus pendampingan terhadap korban kekerasan seksual justru menyebabkan korban serta pendampingnya kena jerat bui, terang Candra.
Di samping memberi pelindungan terhadap korban dan pendampingnya, beberapa ketentuan dalam RUU PKS juga mengatur pemberian sanksi berlapis bagi pelaku yang melakukan kekerasan seksual berkali-kali kepada korban.
“Contohnya, ketika ada peristiwa kekerasan seksual, seseorang diperkosa dan kondisinya dia tidak berpakaian, kemudian dia difoto dan divideo, (rekaman itu) disebar. (Dalam RUU PKS) ada aturan pelaku dapat dijerat dua pidana, bukan hanya satu,” kata Candra menerangkan ketentuan dalam RUU PKS yang berkaitan dengan upaya melawan KBGO.
Istilah KBGO, menurut keterangan Taskforce KBGO sebagaimana dikutip dari akun Instagram resminya @taskforce_kbgo, merupakan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender pada dunia nyata yang terjadi lewat medium digital atau berlangsung di dunia maya.
Beberapa jenis perbuatan bermuatan unsur KBGO, di antaranya trolling, yaitu pelecehan, penghinaan, komentar bermuatan seksis; penyebaran video/foto intim non konsensual (tanpa persetujuan pemilik); pemerasan yang melibatkan tindakan seksual; penguntitan atau pengawasan aktivitas di dunia maya; penyebaran informasi pribadi di dunia maya atau doxing.
Perbuatan lainnya, pemaksaan berhubungan intim yang disertai aktivitas merekam untuk kemudian diunggah ke dunia maya; manipulasi foto dan video ke gambar-gambar sensual; upaya menjebak seseorang di dunia maya untuk tujuan seksual; aksi menjebak anak di bawah umur untuk berhubungan intim dengan memberi pemahaman kepada korban bahwa kegiatan itu merupakan tindakan normal atau cyber grooming.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021