Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengingatkan pemerintah mengantisipasi banyaknya pembangkit listrik baru di sejumlah daerah, baik milik PT PLN (Persero) maupun swasta, yang membuat pasokan listrik saat ini dalam kondisi berlebih.Kita berharap dengan adanya percepatan kebangkitan ekonomi pasca-COVID-19 penyerapan listrik yang ada di Pulau Jawa bisa semakin cepat
"Saat ini kondisi listrik PLN sudah over supply, khususnya di Pulau Jawa, bahkan mencapai 61 persen, lebih tinggi dari daerah-daerah lain dan paling tinggi dalam sejarah," kata Eddy Soeparno dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Untuk itu, ujar dia, penting untuk mengatur dengan tepat bagaimana pengalokasiannya dan jangan sampai kondisi kelebihan listrik justru membebani PT Pertamina (Persero) sebagai pemberi bahan bakar untuk sumber pembangkit listriknya.
Ia berpendapat, melihat kondisi ini, artinya PLN punya pekerjaan rumah untuk mencari permintaan baru demi menyerap hasil produksi listrik, salah satunya dengan mendatangkan investor.
Langkah mendatangkan investor tersebut, lanjutnya, memang akan menyerap listrik di kawasan industri, namun proses ini tentunya membutuhkan waktu, seperti tahap negosiasi, proses perizinan, perencanaan, eksekusi pembangunan kontruksi hingga pengoperasian.
"Proses mendatangkan investor ini membutuhkan waktu yang lama. Namun demikian, kita berharap dengan adanya percepatan kebangkitan ekonomi pasca-COVID-19 penyerapan listrik yang ada di Pulau Jawa bisa semakin cepat, sehingga over capacity bisa tereduksi secara signifikan," paparnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menginginkan adanya penjelasan lengkap kepada publik terkait hasil renegosiasi program pembangunan pembangkit 35.000 MW terutama terkait klausul take or pay (TOP) oleh pembangkitan listrik swasta.
"Kami minta laporan resmi terkait renegosiasi TOP tersebut. Apa saja yang sudah diupayakan pemerintah agar ketentuan TOP tidak membebani keuangan negara,” kata Mulyanto.
Menurut Mulyanto, pemerintah dan PLN harus gerak cepat menegosiasi ulang skema TOP baru bagi pembangkitan listrik swasta, sebab selama hal tersebut tidak direvisi maka keuangan PLN akan terbebani.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah diharapkan agar segera menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi ini kepada publik.
"Tidak boleh berlarut-larut, karena semakin lama dibiarkan akan semakin menekan kondisi kelistrikan nasional dan keuangan PLN," katanya.
Ia mengingatkan sejak 2014 pemerintah berencana membangun pembangkit listrik sebesar 35.000 MW, berdasarkan perencanaan yang mengasumsikan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8 persen.
Namun, lanjutnya, pertumbuhan permintaan listrik sebelum dan saat pandemi tidak lebih dari lima persen sehingga terjadi kelebihan pasokan listrik sebesar 30 persen, jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.
Bila program pembangkit 35.000 MW terus dijalankan sesuai jadwal, ujar dia, maka diperkirakan akan terjadi pembengkakan surplus listrik nasional.
"Ini tentu sangat tidak kita inginkan. Karenanya pemerintah diminta untuk merenegosiasi jadwal pembangunan dari program pembangkit listrik yang sudah kontraktual," kata Mulyanto.
Baca juga: Anggota DPR: Genjot pemanfaatan listrik dari tenaga surya
Baca juga: DPR dorong kerja sama RI-Korea dalam mobil listrik
Baca juga: Anggota DPR: Konektivitas listrik di Asia Pasifik harus manfaatkan EBT
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021