"Kami hanya khawatir terjadi konflik sosial antar penambang bijih timah karena jauh dari regulasi dan kepastian hukum dari praktik ilegal itu," ujarnya di Koba, Minggu.
Hal itu dikemukakannya menyikapi maraknya praktik penambangan bijih timah "liar" di kawasan Marbuk, Pungguk dan Kenari yang tidak berkesudahan di Kabupaten Bangka Tengah.
Baca juga: Bangka Barat hentikan tambang liar bijih timah di Sungai Buluh
"Tidak hanya dampak lingkungan yang menjadi persoalan karena area penambangan tidak jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya konflik sosial," ujarnya.
Syahrial yang juga satu dari tokoh pembentukan Kabupaten Bangka Tengah pada 2003, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 mengaku turut khawatir atas pemandangan tersebut, karena penambangan bijih timah di tiga kawasan itu seperti benang kusut yang begitu sulit mencari simpulnya.
"Menurut saya pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini karena sudah menjadi persoalan serius yang tidak bisa dipandang sebelah mata," ujar Syahrial yang juga berprofesi sebagai pengacara atau advokat itu.
Baca juga: Tim gabungan tertibkan tambang liar timah di Paritenam
Ia menjelaskan kawasan Marbuk, Pungguk dan Kenari merupakan lahan bekas milik PT Koba Tin yang sekarang sudah dikuasai negara sejak perusahaan peleburan bijih timah itu dinyatakan pailit dan tutup.
"Sudah dikuasai negara dan menjadi kawasan dilarang untuk ditambang tanpa aturan, maka pemerintah harus bersikap dan jangan dibiarkan karena dikhawatirkan masyarakat yang akan menerima risikonya baik dari sisi potensi konflik maupun potensi dampak lingkungan," ujarnya.
Baca juga: Satpol PP Babel tertibkan tambang liar bijih timah
Pewarta: Ahmadi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021