Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menginginkan sejumlah kebijakan hambatan nontarif yang terkait dengan beban fixed cost atau biaya tetap dan kuota impor dapat dikaji ulang guna memperlancar arus perdagangan.Belum lagi tambahan biaya untuk parkir di pelabuhan, hal itu menambah biaya dan sifatnya 'fixed cost'
"Kebijakan-kebijakan nontarif ada yang sebaiknya dikaji ulang," kata Arumdriya Murwani di Jakarta, Rabu.
Arum memaparkan bahwa kebijakan nontarif dalam konteks perdagangan terbagi dua yaitu teknis dan nonteknis. Untuk teknis, ujar dia, adalah seperti dalam hal pelabelan dan pre shipment inspection (PSI) yang dilakukan di negara asal.
Inspeksi seperti itu, lanjutnya dilakukan dua kali pertama di negara asal dan kemudian di negara tujuan sehingga pihak yang mengimpor. "Belum lagi tambahan biaya untuk parkir di pelabuhan, hal itu menambah biaya dan sifatnya fixed cost," katanya.
Selain itu, CIPS juga menilai bahwa kebijakan nontarif yang sifatnya nonteknis seperti kuota impor juga perlu dikaji ulang.
Sebelumnya, Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sistem perizinan impor otomatis atau automatic import licensing import untuk menjaga ketahanan pangan.
Selama ini, menurut dia, keputusan-keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan selalu diputuskan lewat rapat koordinasi terbatas antarkementerian dan juga berbagai persyaratan yang menghabiskan waktu. Sistem perizinan impor otomatis dapat mempersingkat proses tadi menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif.
"Impor pangan Indonesia dikontrol oleh pemerintah melalui quantitative restrictions (QR), yang disebut juga kuota impor. Kuota impor Indonesia dikelola melalui sistem perizinan impor nonotomatis di mana Kementerian Perdagangan memberikan izin impor dan kuota impor kepada importir terdaftar," paparnya.
Perolehan izin tersebut, lanjutnya, bergantung pada surat rekomendasi dari Menteri Pertanian dan keputusan yang diambil dalam rapat koordinasi terbatas yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian. Keputusan impor diambil setelah mempertimbangkan data produksi, stok, dan konsumsi nasional.
Sederet regulasi ini, ujar dia, membuat impor pangan kerap kali kehilangan momentum yang tepat, yaitu saat harga di pasar internasional sedang murah, sehingga akhirnya saat komoditas yang diimpor memasuki pasar Indonesia, keberadaannya tidak cukup sukses untuk menstabilkan harga di pasar yang sudah terlanjur tinggi.
Ia mengingatkan bahwa tingginya harga pangan akan memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.
Sebelumnya, Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan Antonius Yudi Triantoro menyampaikan perumusan hambatan nontarif atau non-tariff measures (NTM) dalam kerangka perjanjian perdagangan milik Indonesia membutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan, seperti pengusaha dan kementerian terkait dalam kerangka perjanjian perdagangan.
"NTM yang dimiliki Indonesia lebih sempit dibandingkan negara lainnya. NTM harus berdasarkan scientical base. Ke depan, Kemendag memerlukan kerja sama dan dukungan dari berbagai kementerian," katanya.
Menurut Yudi, NTM dalam kerangka perjanjian The Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) masih diperbolehkan dari perspektif ketentuan perdagangan internasional, sepanjang tujuannya adalah legitimasi.
"Kalau kita lihat, badan perdagangan dunia atau World Trade Organisation (WTO) masih memperbolehkan NTM sepanjang untuk melindungi konsumen dan perlindungan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan," ujarnya.
Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan beras impor belum masuk
Baca juga: BI sebut stimulus Amerika Serikat berdampak positif bagi Indonesia
Baca juga: Fujian fasilitasi pembicaraan impor perikanan dari RI
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021