"Intervensi stunting memang harus saat dalam kandungan, namun itu saja sudah telat, momen yang paling tepat adalah ketika remaja, sehingga mereka siap untuk menjadi ibu," kata Arumi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengakui saat ini penyumbang terbesar stunting adalah tingginya pernikahan di usia anak (dini) Penyebabnya adalah kemiskinan, putus sekolah, kurangnya pendidikan baik formal maupun non formal.
Baca juga: Penelitian tunjukkan 28,9 persen ibu anggap SKM susu pertumbuhan
Baca juga: Penelitian sebut kekerdilan anak karena kental manis dianggap susu
Oleh karena itu, ia mengingatkan pentingnya edukasi tentang gizi disampaikan secara gamblang, salah satunya adalah edukasi mengenai konsumsi kental manis yang masih jamak diberikan masyarakat sebagai minuman untuk anak-anak.
"Terkait kental manis menjadi salah satu faktor penyebab stunting, kita harus kedepankan fakta dan disampaikan dengan gamblang. Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu harus bekerja sama menjaga anak dan mendidik orang tua (nenek) untuk tidak memberi kental manis kepada anak," kata Arumi dalam webinar yang diselenggarakan PP Muslimat NU, Jumat (9/4).
Dalam kesempatan sama, dokter Spesialis Gizi Klinis UI, Fiastuti Witjaksono mengatakan karakteristik perilaku konsumsi masyarakat Indonesia adalah senang makan manis, asin dan mengandung lemak.
Ia memaparkan asupan lemak rata-rata orang Indonesia memang hanya 32 persen, tidak lebih tinggi dibanding negara lain.
Namun, lanjut dia, asupan lemak jenuhnya 2 kali lipat dari negara lain dan ini adalah sumber dari segala penyakit. Pada remaja, perilaku konsumsi yang tidak seimbang tersebut terlihat lebih jelas.
"Kita perlu fokus pada remaja karena saat ketidaktepatan nutrisi akan memengaruhi status gizi dan kesehatan generasi yang akan datang. Bila remaja melakukan diet yang salah akan berakibat gangguan pertumbuhan dan bila dietnya salah, akan menjadi remaja yang pendek dan akan melahirkan bayi-bayi yang stunting," katanya.
Ditambah lagi, lanjut dia, remaja sekarang terbiasa mengonsumsi fast food dan junk food yang kandungan gula, garam dan lemaknya tinggi.
"Harusnya nutrisi remaja mengandung nutrian yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya, seperti protein yang tinggi, jangan banyak gula. Saya tidak setuju jika anak diberi kental manis karena sama sekali tidak ada gizinya, isinya hanya gula," tegas Fiastuti.
Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Kartini Rustandi menambahkan satu dari empat remaja mengalami stunting, satu dari tujuh remaja mengalami kelebihan berat badan serta 50 persen remaja mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari. "Ini menjadi masalah mengingat remaja adalah investasi negara, calon pemimpin," katanya.
Baca juga: YAICI: Konsumsi minuman dengan kadar gula tinggi harus dikendalikan
Ketua Bidang VII PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara mengatakan sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan SDM unggul, PP Muslimat NU akan terus melakukan edukasi gizi untuk masyarakat.
"Sejak 2018 telah dilakukan kegiatan sosialisasi ke beberapa wilayah di Indonesia untuk menyosialisasikan pentingnya pengetahuan gizi dan peruntukan kental manis. Selain itu, juga dilakukan penelitian di beberapa wilayah untuk memperkuat edukasi dan upaya advokasi fakta kental manis diberbagai kalangan," katanya.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021