"Tekanan global membuat Indonesia terintegrasi ke dalam perjanjian internasional dan ini menjadi konsekuensi dari pergaulan internasional. Namun, harus diakui tidak jarang hal itu menguji kedaulatan kita sebagai bangsa," kata dia di Bengkulu, Sabtu.
Kendati demikian, kondisi yang dialami Indonesia saat ini berbeda dengan era orde baru yang pada saat itu tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya kekuatan ekonomi dan politik asing.
Sedangkan di era reformasi, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia semakin terintegrasi ke dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya global yang berada dalam kendali kekuatan multinasional yang berwatak kapitalis dan neoliberalisme.
"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka? Secara teori the greatest happiness is a greatest number. Artinya, yang terpenting dari perjanjian internasional atau ratifikasi tersebut adalah siapa yang diuntungkan, kita atau mereka," papar-nya.
Menurutnya, semua yang di tandatangani dan diratifikasi dari perjanjian internasional itu mengandung konsekuensi untuk memproduksi hukum.
Baca juga: Ketua DPD minta pemerintah serius sikapi efek embargo vaksin COVID-19
Baca juga: Ketua DPD RI puji upaya Pemprov Bengkulu stabilkan harga TBS sawit
Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.
Pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang apabila berkenaan dengan sejumlah hal, yaitu masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
Kemudian persoalan perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman dan atau hibah luar negeri.
Sedangkan pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional melalui Keppres dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat, tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional.
Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori itu, di antaranya perjanjian induk yang menyangkut kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.
"Jadi dimana letak kedaulatan hukum negara Indonesia yang sudah menandatangani banyak perjanjian internasional yang patut diduga berlatar kebutuhan masyarakat internasional? Seperi WTO, GATT, Free Trade ASEAN, IJEPA dengan Jepang dan masih banyak lainnya," ucap-nya.
Ia menilai di satu sisi kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.
"Kita dituntut berfikir dan bekerja guna menyempurnakan saat dua konsep itu dipertemukan, yaitu muatan perjanjian internasional dengan norma konstitusi Indonesia yang seharusnya berpihak kepada rakyat. Sehingga aktualisasi hukum Indonesia benar-benar berpihak kepada marwah Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat," demikian La Nyalla.
Baca juga: Ketua DPD minta wartawan tingkatkan kompetensi untuk lawan hoaks
Pewarta: Carminanda
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021