Bagi yang skeptis, mungkin menganggap film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan Pandhu Adjisurya ini cuma sinetron yang dipersingkat saja. Apalagi film berlatar akhir 90-an itu memang mengusung konsep "kenangan".
Baca juga: Film "Tersanjung" tunda jadwal tayang akibat virus corona
Baca juga: Tantangan Giorgino Abraham main film "Tersanjung"
Saat film dimulai, penonton disuguhkan dengan gambaran rumah konglomerat tahun 90-an yang bisa dibilang cukup akurat. Rumah gedong dengan pilar-pilar dan ornamen ala Eropa, ruang tamu yang diisi dengan sofa serba kulit dan pajangan kristal. Corak-corak seperti ini memang digandrungi oleh orang kaya baru masa Orde Baru.
Dengan alur yang lambat tokoh utama Yura (Clara Bernadeth) diperkenalkan. Dia sedang dijodohkan dengan lelaki kaya raya pemilik rumah tersebut. Ternyata perjodohan itu bukan perjodohan yang sehat, Yura dipaksa karena ibu tirinya Indah Besari (Kinaryosih) terlilit utang. Malam itu Yura hampir diperkosa, dia melawan si pemerkosa dengan menghantamkan gelas ke wajah pria tersebut. Saat kabur, dia ditolong oleh dua sahabat akrabnya Oka dan Ian yang ternyata sudah menunggunya sejak pagi di depan rumah itu.
Cobaan yang dialami Yura tak sampai di situ, ayahnya terserang stroke karena masalah utang, pemasukan keluarga juga mengkhawatirkan. Dia merasa harus ikut membantu untuk mendanai pengobatan ayahnya dan sekolah adik tirinya. Akibat resesi karena krisis moneter yang dialami banyak negara Asia pada 1998, Yura yang sudah melamar pekerjaan kesana-kemari tak kunjung diterima. Akhirnya dia dan kedua sahabatnya memilih berdagang mie ayam, yang syukurnya di saat harga-harga melambung tinggi dan tingkat pengangguran terbuka juga tinggi, kedai mie ayam mereka laris manis. Setiap malam ramai dikunjungi pembeli.
Usut punya usut Ian (Giorgino Abraham) menyukai Yura sejak lama, Oka (Kevin Ardilova) yang mengetahui hal tersebut mendukung Ian untuk menyatakan perasaannya kepada Yura. Cinta Ian kepada Yura ditunjukkan dengan melunasi biaya rumah sakit ayahnya dan rumah kontrakan keluarga Yura. Yura sempat bertanya-tanya dari mana asal uang tersebut, Ian menolak memberi tahu. Tapi sebagai orang yang sudah terbiasa menonton sinetron, kita pasti bisa menebak: "tentu saja aliran dana itu berasal dari keluarganya yang kaya raya".
Benar saja, saat Yura sudah berpacaran dengan Ian dan diajak berkenalan dengan keluarga Ian, kita ditunjukkan dengan kemegahan rumah Ian yang luasnya mungkin sama dengan satu kelurahan. Kemewahan yang ditampilkan serupa istana-istana di Eropa, sehingga kita bertanya-tanya apakah ada rumah semewah itu di Indonesia? Entahlah.
Direstui sang Ayah, namun tidak disukai sang Ibu, Ian diperbolehkan menikahi Yura. Namun dengan syarat Ian mesti membantu usaha kakaknya di Amerika selama seminggu, kemudian pulang dan menikahi Yura. Setelah mengumumkan pertunangannya, Ian berangkat ke Amerika. Tak lama setelah itu, Yura mengetahui dirinya hamil. Dia berkali-kali mencoba menghubungi Ian, ternyata Ian tak dapat dihubungi. Kerusuhan 1998 pun pecah, keluarga Ian seluruhnya berangkat ke Amerika, Yura yang ditinggal tanpa kabar mengalami depresi berat.
Di awal ceritanya memang terdengar basi, namun faktor cliché ini justru berhasil menghadirkan konsep kenangan yang memang menjadi tujuan sang Sutradara.
Bersyukur, di tengah film ceritanya mengalami perkembangan. Jika dalam sinetron lazim kita lihat karakter protagonis akan selamanya menjadi orang baik tanpa cela, dan karakter antagonis akan selamanya jahat tak berujung, maka karakter-karakter di film ini jauh terlihat manusiawi.
Yura menyadari bahwa prasangka buruknya telah menjauhkan dirinya dari keluarganya yang ternyata merekalah orang yang mendukung dan ada saat Yura mengalami depresi berat. Cara pandang masyarakat melihat "ibu tiri" yang biasa terkenal galak, semena-mena, dan hanya mau uang si ayah diwakilkan dengan prasangka Yura.
Baca juga: "Chaos Walking", pertarungan melawan isi pikiran manusia
Baca juga: Hanung kaget dengan hasil riset negatif film "Tersanjung"
Prasangka itu membuat kita membenci ibu tirinya. Namun pada akhirnya kita tahu, masalah ketidakakraban Yura dan Ibu terjadi karena si Ibu canggung untuk memulai hubungan dengan anak tirinya. Diam-diam dia adalah orang yang turut mengkhawatirkan Yura, dan selalu berada di dekat Yura saat dia depresi, bahkan ketika dia hamil dan melahirkan.
Cinta Yura dan Oka adalah kisah cinta yang paling dewasa dan natural, mereka mencintai karena saling mengisi dan terbiasa bersama. Saat keduanya jatuh cinta, kita akan berpikir disinilah detik-detik Ian akan pulang dan merusak hubungan keduanya. Tapi ternyata ceritanya tidak sereceh itu, Ian benar-benar hilang sampai akhirnya keduanya menemukan akhir bahagia.
Porsi cerita untuk kehidupan cinta Yura, karier, dan keluarga juga seimbang, sehingga tak ada karakter yang mubazir. Semuanya punya peran dan pengaruh dalam perjalanan hidup Yura. Yura juga digambarkan sebagai sosok perempuan kuat, tak seperti versi sinetron di mana pemeran utama selalu lemah, gampang disiksa dan senantiasa ditolong oleh tokoh laki-laki. Yura juga tak segan-segan melamar Oka untuk menikah dengannya.
Kekuatan Yura terletak pada keikhlasannya dalam menjalani hidup, salah satu falsafah yang lazim dipegang teguh oleh perempuan-perempuan zaman dulu.
Meskipun ada beberapa bolongnya, film ini bisa dikategorikan berhasil membawa suasana 1990-an baik dari segi warna film, penggambaran situasi sosial politik, dan juga latar. Salah satu keberhasilannya adalah dapat membawa latar cerita yang lebih makro tentang keadaan sosial politik Indonesia saat itu, seperti soal krisis moneter dan runtuhnya Orde Baru, ke dalam cerita para tokoh tanpa terasa dipaksakan. Tak banyak film Indonesia yang berhasil menghubungkan situasi sosial politik yang lebih makro ke dalam cerita para tokohnya.
Secara visual, film ini memang tidak menghadirkan warna-warna yang sinematik, film ini menggunakan warna yang cenderung seperti sinetron. Tetapi pewarnaan semacam ini justru memperkuat nuansa 1990-an. Sebab Indonesia memang kehilangan panutan gaya berfilm pada dekade tersebut karena minimnya film layar lebar yang diproduksi. Dunia audio-visual masyarakat Indonesia saat itu benar-benar dirajai oleh sinetron, oleh karena itu ketika film ini mencampurkan pendekatan sinetron dengan pendekatan sinema, justru menjadi ide yang bagus dalam membangun nuansa 1990-an.
Tak hanya soal cerita, hal lain yang menarik adalah bagaimana cara sutradara menampilkan status kekayaan Ian. Saban hari saat ke kampus maupun sedang main, Ian selalu menggunakan kaus "band" seperti kaus Nirvana, Jim Morrison, dan Led Zeppelin. Pada Era 1990-an, kaus merchandise band belum ada versi "kw"-nya, rata-rata kaus itu barang impor, dan hanya orang-orang kaya yang dapat mengaksesnya. Apa yang dikenakan Ian ini kontras dengan yang digunakan Oka. Oka cenderung menggunakan kaus biasa yang lazim digunakan anak-anak seumurannya pada masa itu.
"Tersanjung The Movie" memang bisa menjadi "kuda hitam" bagi siapa saja yang tak suka dengan cerita-cerita yang disuguhkan sinetron. Tanpa disangka film ini berhasil membuat kita benar-benar ikut Tersanjung.
Namun apakah akan ada "Tersanjung The Movie 2"? Semoga tidak.
Baca juga: "Stand by Me Doraemon 2", petualangan Nobita menjelajahi waktu
Baca juga: "Moxie", upaya Amy Poehler kenalkan feminisme pada Gen Z
Baca juga: "White Tiger", "underdog" yang menentukan takdirnya sendiri
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021