Liburan tahun baru selama lima hari, yang dikenal sebagai Thingyan, biasanya dirayakan dengan doa, ritual pembersihan patung Buddha di kuil, dan penyiraman air yang meriah di jalan-jalan.
Para aktivis mendesak orang-orang tahun ini untuk melakukan protes simbolis dari awal liburan pada Selasa, termasuk dengan melukis penghormatan tiga jari yang digunakan oleh para demonstran di pot tradisional Thingyan yang diisi dengan bunga, yang biasanya dipajang pada saat perayaan tahun baru ini.
"Dewan militer bukan pemilik Thingyan. Kekuasaan rakyat ada di tangan rakyat," tulis Ei Thinzar Maung, pemimpin kelompok protes Komite Kolaborasi Pemogokan Umum Myanmar, di Facebook.
Ei Thinzar Maung mengatakan beberapa aksi protes lainnya yang direncanakan terhadap junta pada hari liburan ini, termasuk percikan cat merah di trotoar dan pembunyian secara bersama klakson-klakson mobil.
Para aktivis juga menyerukan hari hening untuk mengenang para korban kekerasan dan untuk hari ketaatan agama pada Sabtu (17/4), dengan umat Buddha didesak untuk mengenakan pakaian keagamaan dan membaca doa bersama, dan komunitas Kristen diminta untuk mengenakan pakaian putih dan membaca mazmur Alkitab.
Sementara para pengikut agama lain di negara yang mayoritas beragama Buddha itu didesak untuk mengikuti panggilan para pemimpin agama mereka.
Ini akan menjadi liburan tahun baru kedua berturut-turut yang terganggu setelah pandemi virus corona telah membuat acara perayaan tahun lalu dibatalkan.
Kudeta yang dilakukan kelompok militer pada 1 Februari telah menjerumuskan Myanmar ke dalam krisis setelah 10 tahun langkah tentatif menuju demokrasi ketika militer mundur dari politik dan memungkinkan Aung San Suu Kyi untuk membentuk pemerintahan setelah partainya memenangi pemilu 2015.
Kelompok militer mengatakan pihaknya harus menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi karena pemilu November yang dimenangkan lagi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) telah dicurangi. Namun, komisi pemilihan Myanmar telah menepis tuduhan kelompok militer tersebut.
Kudeta tersebut telah memicu protes harian yang dilakukan oleh para penentang pemerintahan militer. Namun, para demonstran itu harus membayar dengan harga yang mahal, di mana pasukan keamanan Myanmar telah membunuh 710 pengunjuk rasa, menurut penghitungan oleh kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Angka itu termasuk 82 orang yang tewas di kota Bago, sekitar 70 kilometer di timur laut Yangon, pada Jumat (9/4).
Rincian mengenai tindak kekerasan oleh pasukan keamanan sulit diverifikasi karena pembatasan sambungan internet dan layanan data seluler secara luas yang diterapkan junta.
Namun, juru bicara junta tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Suu Kyi, 75 tahun, yang memimpin perjuangan Myanmar melawan kekuasaan militer selama beberapa dekade dan yang memenangi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991, telah ditahan sejak kudeta tersebut dan didakwa dengan berbagai pelanggaran.
Pelanggaran yang dituduhkan terhadap Suu Kyi termasuk tindakan melanggar aturan rahasia resmi negara, yang berlaku pada masa kolonial, yang dapat membuatnya dipenjara selama 14 tahun.
"Kami tidak merayakan tahun baru Myanmar, Thingyan, tahun ini karena lebih dari 700 jiwa pemberani kami yang tidak bersalah dibunuh oleh pasukan junta yang tidak manusiawi secara tidak sah. Kami yakin kami akan memenangkan revolusi ini," kata salah satu pengguna Twitter yang diidentifikasi sebagai Shwe Ei.
Sumber: Reuters
Baca juga: Junta Myanmar sebut protes terhadap pemerintahannya berkurang
Baca juga: Media: Pasukan keamanan Myanmar tembaki demonstran, empat tewas
Baca juga: Pelajar, dokter Myanmar rencanakan lebih banyak protes terhadap kudeta
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021