• Beranda
  • Berita
  • Pakar: Konten dari pengguna jadi tantangan pers era digital

Pakar: Konten dari pengguna jadi tantangan pers era digital

15 April 2021 18:26 WIB
Pakar: Konten dari pengguna jadi tantangan pers era digital
Tangkapan layar dari Tokoh media dan Wakil Ketua Dewan Pers 2010-2013 Bambang Harymurti (kedua kanan), Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Aris Zulkifli (kedua kiri) dan Konsultan ahli pers Wina Armada (kiri) dalam diskusi di Jakarta, Kamis (15/4/2021) (ANTARA/Prisca Triferna)

masalahnya bukan dari pemberitaannya tapi komentarnya dari publik,

Tokoh media dan Wakil Ketua Dewan Pers 2010-2013 Bambang Harymurti mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi pers dalam dunia digital adalah user generated content
UGC) atau konten dari pengguna.

"User generated content, kalau di online itu sering kali masalahnya bukan dari pemberitaannya tapi komentarnya dari publik," kata Bambang dalam diskusi fenomena dunia digital dalam kacamata UU Pers dan kode etik jurnalistik, dipantau dari Jakarta pada Kamis.

Dia mengandaikan praktik tersebut sebagai pemilik tembok yang propertinya dilukis gratifi oleh orang tidak dikenal, di mana sang pemilik platform memiliki tanggung jawab tapi memiliki keterbatasan dalam mengatur dan mengkurasi komentar yang ada di situsnya.

Baca juga: Idealisme versus industri pers di era digital

Baca juga: PWI: Pers nasional hadapi krisis eksistensi akibat disrupsi digital


Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Aris Zulkifli juga menyoroti salah satu tantangan pers dalam era digital termasuk situs berstatus sebagai UGC yang memuat tulisan pengguna, bukan wartawan.

"User generated content adalah sebuah praktik di mana user atau pembaca atau pemirsa memproduksi berita sendiri yang dimasukkan ke dalam media yang dia baca. Kemudian digiling dalam sebuah sistem algoritma sehingga meningkatkan trafik," kata Aris.

Dia memberi contoh bagaimana beberapa media besar Indonesia memiliki situs di mana pembaca dapat menulis konten dan mempublikasikan karya mereka. Wadah yang semula dimaksudkan untuk menjadi tempat diskusi, banyak dimanfaatkan untuk menyerang orang lain dalam sebuah tulisan dengan format mirip berita.

Dalam diskusi yang sama ahli hukum pers dan konsultan ahli pers dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wina Armada mengatakan tidak semua media sosial atau digital dapat menjadi pers.

Hal itu penting dalam menimbang kasus yang dapat dimediasi oleh Dewan Pers.

"Kalau kita nanti mau menimbang apakah dia termasuk pers atau bukan maka unsur dari peranan harus menjadi salah satu pertimbangan, tidak bisa sembarangan," kata Wina.

Oleh karena itu pers memiliki kewajiban seperti mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi, menghormati berbagai norma, menghormati asas praduga tak bersalah dan memiliki hak jawab serta hak koreksi. Beberapa dari hal itu, kata Wina, tidak dimiliki oleh media sosial.

Baca juga: Dewan Pers: Insan pers harus berprestasi agar bertahan di era digital

Baca juga: Rayakan HUT, AJI bahas tantangan pers di era dirupsi digital

 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021