Menilik "estafet" korupsi di Bandung Barat

16 April 2021 15:15 WIB
Menilik "estafet" korupsi di Bandung Barat
Bupati Kabupaten Bandung Barat Aa Umbara berjalan untuk dimintai keterangan oleh KPK di Gedung BPKP Perwakilan Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/11/2020). Aa Umbara menjalani pemeriksaan dan dimintai keterangan lanjutan usai sebelumnya diperiksa KPK di Jakarta terkait kegiatan Penyelidikan kasus korupsi. (ANTARA JABAR/Novrian Arbi/agr)
Ironis. Kata tersebut dinilai tepat disematkan untuk kondisi di Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Jabar) saat ini. Pasalnya, dua pucuk pimpinan di Kabupaten Bandung Barat (Bupati) terjerat kasus korupsi.

Pertama, (almarhum) Abubakar, Bupati Bandung Barat periode 2008-2013 dan 2013-2018 divonis 5 tahun 6 bulan (5,5 tahun) penjara ditambah denda Rp200 juta setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi penggalangan dana ke sejumlah kepala dinas untuk pencalonan istri-nya dalam Pilkada 2018.

Kedua, Aa Umbara Sutisna, Bupati Bandung Barat periode 2018-2023 juga terjerat kasus korupsi. Politisi Partai NasDem ini ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemik COVID-19 pada Dinas Sosial Pemda Kabupaten Bandung Barat Tahun 2020.

Kedua pucuk pimpinan di Kabupaten Bandung Barat tersebut seolah melakukan "estafet" tindak pidana korupsi.

Penetapan tersangka untuk Aa Umbara Sutisna juga seolah mencederai acara Rakor Sinergi dan Kolaborasi Pemberantasan Korupsi bersama KPK pada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat yang digelar di Kabupaten Bandung Barat.

Ada apa dengan Pemerintah Kabupaten Bandung Barat? Mengapa sampai ada dua pucuk pimpinannya terjerat kasus tindak pidana korupsi.

Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Prof Dr Asep Warlan Yusuf melihat ada empat faktor yang membuat seorang kepala daerah terjerat kasus tindak pidana korupsi.

Pertama ialah biaya politik yang besar sehingga saat calon kepala daerah akan berkompetisi di pilkada dibutuhkan modal yang besar.

Baca juga: Konstruksi perkara yang jerat Aa Umbara dan anaknya sebagai tersangka

Baca juga: KPK menahan Bupati Bandung Barat dan anaknya


Pada momentum tersebut, biasanya ada pihak-pihak tertentu yang mendekati calon kepala daerah tersebut untuk menjadi donatur atau pemberi dana di ajang pilkada atau disebut dengan investasi politik.

"Investasi politik biasanya tidak gratis, enggak ada makan siang gratis. Jadi kalau anda terpilih kami bisa lah minta sesuatu atau imbalan. Nah ternyata, ini tidak berhenti saat proses pilkada tapi setelah pilkada-nya juga mereka perlu biaya untuk tim pendukung atau untuk partai".

Faktor kedua ialah kepala daerah terpilih biasanya mengotak-ngatik aturan atau norma yang menjadi cara mereka mendapatkan keuntungan atau mendapatkan bagian dari anggaran. Biasanya hal tersebut dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan birokrasi di pemda atau pemegang proyek.

Ini biasanya berkaitan dengan mencari celah, mencari cara untuk bisa mendapatkan keuntungan dari situ. Jadi ini soal mencari peluang untuk memperkaya diri dengan cara mengotak-ngatik pasal-pasal atau pengawasan.

Faktor ketiga ialah gaya hidup seorang kepala daerah dan keluarga sebelum dan sesudah terpilih berbeda.

Kebutuhan untuk mencari uang setelah terpilih itu tinggi karena mereka ingin kalau tidak bertarung lagi di pilkada ya untuk investasi. Gaya hidup ini soal gaya hidup yang tidak wajar sehingga harus mencari uang yang banyak.

Faktor keempat mengapa dua pucuk pimpinan di Kabupaten Bandung Barat melakukan tindak pidana korupsi karena integritas yang rendah.

"Kalau dia integritas-nya bagus walaupun diganggu oleh partai, pengusaha, keluarga, birokrasi kalau imannya kuat maka tidak akan terjadi itu. Seharusnya parpol menetapkan syarat ini saat mencari calon kepala daerah untuk berlaga di pilkada. Bukan hanya mencari calon yang kaya, tampan atau cantik atau populer semata," tutur Asep.

Seharusnya, Aa Umbara Sutisna sadar betul bahwa ia harus belajar banyak dari Bupati Bandung Barat sebelumnya yang terjerat kasus korupsi.

Baca juga: KPK amankan dokumen geledah lima lokasi terkait kasus Aa Umbara

Baca juga: KPK sebut kasus Bupati Bandung Barat karena konflik kepentingan


Tindakan yang dilakukan Aa Umbara Sutisna, juga telah mencederai hati nurani karena melakukan dugaan tindak pidana korupsi terhadap dana bansos penanggulangan pandemik COVID-19.

Sehingga wajar jika dihukum berat untuk pelaku tindak pidana korupsi yang menyelewengkan dana penanggulangan bencana atau pandemik COVID-19.

Bahkan, Ketua KPK Pak Firli sempat menyatakan pelaku korupsi anggaran penanggulangan COVID-19 dituntut dengan hukuman mati. Karena COVID-19 memukul semua aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi hingga aspek keagamaan.

Tugas Berat Hengki
Wakil Bupati Bandung Barat yang juga artis Hengki Kurniawan seolah harus menanggung tugas atau beban berat dari kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Bupati Bandung Barat Aa Umbara dan anak kandungnya Andri Wibaya.

Salah satu tugas terberat yang diemban oleh Hengki Kurniawan ialah mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi di Pemerintah Kabupaten Bandung Barat.

"Tidak semua birokrasi itu korup, ada yang benarnya juga, ada yang soleh-nya. Ada yang loyal mengabdi. Buktikan bahwa Kabupaten Bandung Barat itu bisa dipercaya pemerintahannya," kata dia.

Selain itu, Asep Warlan juga menyarankan agar Hengky Kurniawan berpidato ke publik bahwa jika melakukan korupsi maka hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.

"Pokoknya pidato-pidato atau kampanye antikorupsi harus benar-benar sering dilakukan oleh Hengki Kurniawan agar masyarakat melihat ada komitmen yang tinggi dari seorang Hengki Kurniawan selaku Wakil Bupati Bandung Barat,".

Ada tiga solusi yang ditawarkan oleh Asep Warlan agar tindak pidana korupsi tidak dilakukan oleh kepala daerah yakni pertama negara harus menanggung biaya politik bagi calon kepala daerah yang akan berlaga di pilkada tidak dibebankan sepenuhnya kepada calon kepala daerah.

Sehingga kader atau calon kepala daerah yang tak punya uang, tapi dia punya pengabdian tinggi, loyal dan berkualitas maka bisa bertarung di pilkada karena negara menjamin orang terbaik bisa ikut kompetisi di pilkada.

Solusi kedua harus ada Undang-undang Pengawasan Internal Pemerintahan yang menjadikan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah atau APIP sebagai KPK-nya birokrasi.

Kalau KPK itu umum kan, bisa untuk siapa saja. Nah kalau APIP khusus untuk birokrasi. Saat ini oleh inspektorat.

Solusi kedua adalah partai politik juga harus diberi sanksi jika ada anggota atau kader-nya melakukan tindak pidana korupsi.

Selama ini, kalau ada kader partai yang melakukan korupsi maka akan dipecat kader-nya tersebut. Tapi partai-nya sendiri tidak pernah disentuh oleh hukum sama sekali.

Dua kasus korupsi yang menjerat Aa Umbara Sutisna dan (alm) Abubakar diharapkan menjadi yang terakhir bagi Pemerintah Kabupaten Bandung Barat.

Cukup berhenti di Aa Umbara korupsi di Kabupaten Bandung Barat ini, jangan sampai turun menurun lagi. Cukup berhenti di sana.

Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021