Analisa dan dampak bencana alam di NTT

19 April 2021 00:27 WIB
Analisa dan dampak bencana alam di NTT
Badan Informasi Geospasial (BIG) melaporkan analisa bencana banjir yang melanda Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Minggu (4/4), terjadi karena wilayahnya menjadi pertemuan 'outlet' atau titik tuang dari Daerah Aliran Sungai (DAS). ANTARA/HO-BIG
Dua pekan usai bencana alam melanda 20 daerah kota/kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan tidak kurang dari 181 penduduk setempat meninggal dunia.

Selain itu, bencana alam yang berlangsung Ahad (4/4), mengakibatkan 225 penduduk lainnya mengalami luka serta 48 lainnya dinyatakan hilang.

Mereka adalah para korban yang terdampak bencana tanah longsor hingga banjir bandang di Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Malaka, Kabupaten Lembata, Kabupaten Ngada, Kabupaten Sumba Barat.

Selain itu bencana juga melanda Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Ende, Kabupaten Sabu Raijia, Kabupaten Alor, Kabupaten Kupang, Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sika, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Nagekeo.

Berdasarkan laporan tersebut, bencana alam terparah dialami total 2.579 penduduk di Kabupaten Flores Timur, 72 orang di antaranya meninggal dunia, 76 luka-luka dan dua jiwa dilaporkan hilang.

Lokasi terparah berikutnya berada di Kabupaten Lembata di mana 46 jiwa dari total 5.861 penduduk meninggal dunia, 53 luka-luka dan 22 jiwa dinyatakan hilang. Di Kabupaten Solor dilaporkan 12 jiwa meninggal dunia, 26 luka-luka dan tiga orang lainnya dinyatakan hilang.

Korban meninggal dunia juga dilaporkan berasal di Kabupaten Malaka sebanyak 11 jiwa dari total penduduk 30.599 jiwa.

Selain korban meninggal, BNPB juga melaporkan sebanyak 74.629 rumah tinggal penduduk di wilayah terdampak bencana mengalami kerusakan berskala ringan hingga berat.

Sementara kerusakan infrastruktur publik dilaporkan terjadi di 16 wilayah kota/kabupaten di NTT. Di Kota Kupang bencana merusak 39 fasilitas pendidikan, 13 fasilitas kesehatan, 67 tempat ibadah, dua ruas jalan, 11 fasilitas perdagangan dan 18 fasilitas pemerintahan.

Di Kabupaten Flores Timur bencana merusak jalan, jembatan hingga talut pengaman pantai. Kabupaten Malaka mengalami kerusakan fasilitas pendidikan, kantor pemerintahan, saluran irigasi hingga peternakan dan tambak milik penduduk.

Sejumlah kantor pelayanan publik seperti Mapolres, asrama polisi, sekolah hingga pasar dilaporkan rusak di Kabupaten Ngada. Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Ende, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Alor dan Kabupaten Kupang Belu dan Manggarai.

Baca juga: BIG: Sumba Timur-NTT berada di pertemuan titik ruang DAS, rawan banjir

Analisa

Koordinator Informasi Geospasial Tematik Kebencanaan Badan Informasi Geospasial, Ferrari Pinem, mengemukakan bencana alam di NTT tidak lepas dari pengaruh wilayah yang berada pada lokasi rawan bencana alam.

Misalnya daerah Karera, Kabupaten Sumba Timur yang berlokasi pada cekungan dataran banjir yang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan.

Menurut dia, dataran banjir ini terbentuk pada lembah di antara pegunungan berbatuan vulkanik di sebelah utara dan perbukitan berbatuan sedimen di sebelah selatannya.

Material yang terendapkan pada lembah ini berasal dari proses pengikisan material lereng pegunungan di sekelilingnya.

Proses sedimentasi mengendapkan material alluvium, lempung, serta berbagai batuan endapan kipas yang berasal dari lereng kaki bukit.

Pegunungan vulkanik di sebelah utara wilayah terdampak memiliki material dari Gunung Silo (GSO) dengan batuan berupa andesit, basalt, diorite, dan abbro.

Secara visual pegunungan ini sudah mengalami proses pengikisan yang intensif, hal ini terlihat dari banyaknya daerah aliran sungai (DAS) kecil yang terbentuk di lereng sebelah selatan yang langsung menghadap lembah.

Material pegunungan ini terkikis dan terendapkan secara gravitasional di lereng kaki dan lembah yang ada di bawahnya.

Beberapa outlet DAS bertemu di kaki lereng dan masuk ke area lembah. Pertemuan outlet beberapa DAS menjadi area yang rawan terkena akumulasi limpasan air jika hujan turun secara merata di seluruh area lereng pegunungan.

Jika intensitas hujan yang turun sangat tinggi, maka area-area pertemuan outlet DAS menjadi area yang rawan terkena imbas limpasan air yang berpotensi terjadinya banjir dan banjir bandang.

Ferrari mengatakan wilayah lainnya yang juga terdampak bencana adalah Pulau Adonara yang berlokasi di lembah-lembah sungai sempit dengan tebing sungai yang tinggi. Lembah sungai terbentuk dari batuan lava yang sudah melapuk dan tererosi sangat kuat.

Lembah-lembah sungai tersebut memiliki hulu pada sungai-sungai yang terbentuk dari proses erosi pegunungan di atasnya. Beberapa lembah sungai yang terbentuk merupakan pertemuan dari beberapa sungai dalam satu DAS.

Dengan kondisi lembah sungai yang sempit dan tebing dinding sungai yang tinggi, kata Ferrari, apabila terjadi aliran air akibat hujan yang ekstrem maka sedimen berupa batuan andesit dan basalt yang mengalami erosi dari lereng pegunungan akan mengalir dan terkonsentrasi pada lembah sungai.

Kondisi ini sangat berbahaya jika pada lembah sungai tersebut terdapat permukiman atau aktivitas manusia yang bernilai ekonomi.

Analisa dampak bencana juga dilakukan di Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT.

Pada lokasi itu terdapat 'kipas alluvial' yang terbentuk di kaki lereng pegunungan yang terbentuk oleh peralihan dasar sungai yang curam ke dasar sungai yang datar.

Adanya perubahan dasar sungai yang curam ke dasar sungai yang datar akan terjadi proses pengendapan terhadap beban sedimen yang cukup banyak dan selanjutnya akan mengakibatkan terbentuknya kipas alluvial.

Wilayah terdampak di daerah itu berada pada kaki lereng sistem lahan Gunung Beliling (GBG) yang mengalami proses pengikisan yang sangat intensif pada bagian hulu, mengakibatkan wilayah kipas alluvial di bagian hilir mendapatkan material sedimen yang cukup banyak.

Jika terjadi curah hujan merata dan ekstrem, kata Ferrari, maka wilayah kipas alluvial yang langsung terhubung pada lembah kikisan lereng pegunungan di atasnya akan berpotensi terkena material hingga terbawa oleh aliran air.

Apabila di atas wilayah kipas alluvial ini berdiri bangunan dan aktivitas manusia maka akan rentan terkena dampak akibat terjangan material yang terbawa oleh aliran air dari hulu.

Baca juga: BIG: Pemukiman dibangun di area rawan longsor Desa Sihanjuang Sumedang

Gunung api

Di wilayah Kabupaten Flores Timur juga terdapat permukiman penduduk yang berada di kaki gunung api, yakni Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur dan Ile Ape di Kabupaten Lembata.

Lokasi Ile Boleng berupa kipas alluvial di kaki lereng gunung api. Sistem lahan di lokasi tersebut adalah Norabeleng (NBG) yaitu Moderately sloping volcanic alluvial fans in dry areas.

Lokasi ini berada tepat pada tekuk lereng Gunung Api Ile Boleng yang merupakan gunung api muda dengan material endapan lepas. Lokasi yang berada pada tekuk lereng mengakibatkan bertemunya beberapa alur sungai.

Pertemuan alur sungai yang memiliki hulu di kerucut gunung api sangat berpotensi untuk terjadinya banjir lahar, apabila di wilayah puncak terjadi hujan dengan intensitas tinggi hingga ekstrem. Hal ini dikarenakan lereng atas gunung api adalah area yang memiliki bahan material endapan unconsolidated atau lepas,

Endapan material lepas dari hasil aktivitas proses gunung api tersebut akan sangat mudah jatuh atau terbawa oleh aliran air yang deras. Aliran air dapat berperan sebagai tenaga pengikis yang melepaskan ikatan antar-material, sehingga material lepas tersebut akan meluncur mengikuti alur air.

Dengan tingkat kecuraman lereng bukit berkisar 26 hingga 40 persen lebih atau sangat curam, maka aliran yang terjadi bisa sangat cepat dan menyapu daerah yang ada di bawahnya.

Tentunya akan sangat berisiko apabila daerah yang berada di jalur aliran ini berdiri bangunan dan aktivitas manusia yang tentunya akan berdampak terhadap kerusakan yang terjadi.

Sementara itu kondisi geomorfologi wilayah terdampak di kaki Gunung Ile Ape tidak jauh berbeda dengan wilayah terdampak di Ile Boleng, sehingga proses alur rombakan juga mendominasi wilayah ini ketika terjadi siklon seroja saat itu.

Lokasi di Ile Ape berupa gently sloping volcanic alluvial fans in arid areas yang merupakan sistem lahan Wai Pukang (WPK).

Lokasi yang rawan longsor atau banjir bandang adalah lokasi pada tekuk lereng yang berhubungan secara langsung dengan alur sungai yang berhulu pada lereng atas gunung api.

Gunung api Ile Ape adalah gunung api strato yang masih aktif. Endapan lepas banyak terendapkan di lereng atas.

Jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi di lereng atas, maka material vulkan yang lepas berpotensi turun melewati alur sungai dan menumbuk area tekuk lereng di lereng kaki gunung api.

Dengan  semakin banyaknya ancaman siklon di Indonesia yang memicu hujan ekstrem secara merata di kawasan pegunungan dan perbukitan, maka sudah selayaknya setiap provinsi mulai memetakan kembali pemukiman yang rawan bencana akibat longsoran endapan lepas itu, termasuk pemukiman di sekitar daerah aliran sungai.

Bukan sekedar memberikan imbauan untuk bersiaga, tetapi harus ada langkah nyata untuk memindahkan pemukiman penduduk yang rawan itu, demi mengurangi korban jiwa dan harta benda. Pemindahan pemukiman yang rawan bencana memang perlu waktu bertahun-tahun, namun lebih baik dimulai sebelum terlambat.

Baca juga: Usai terjangan siklon Seroja, muncul danau baru di Kota Kupang
Baca juga: "Debris flow" penyebab banyaknya korban Siklon Tropis Seroja

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021