Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Sri Yusnita Irda Sari mengemukakan kepatuhan pengusaha depot air minum isi ulang memenuhi standar mutu produksi masih sangat rendah.Hanya 41,5 persen depot yang memiliki sertifikat pelatihan, 26,6 persen memiliki izin usaha
"Depot air minum isi ulang ini merupakan usaha kecil, 80 persen hanya memiliki satu hingga tiga karyawan," kata Yusnita dalam webinar tentang air bersih yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diikuti di Jakarta, Senin.
Sri mengatakan 70 persen pelaku usaha berdasarkan hasil studi dilaporkan hanya menjalankan usaha mereka kurang dari sepuluh tahun.
Baca juga: Depot air minum isi ulang belum penuhi standar mutu
Bahkan hasil studi pihaknya menyebutkan bahwa kepatuhan pengusaha dalam memenuhi sejumlah kriteria mutu air masih sangat rendah.
"Hanya 41,5 persen depot yang memiliki sertifikat pelatihan, 26,6 persen memiliki izin usaha," katanya.
Sri mengatakan hanya 17,9 persen pengusaha depot air minum isi ulang yang memiliki sertifikat Laik Higiene Sanitasi (LHS), serta 10,5 persen saja yang patuh pada peraturan pemeriksaan laboratorium secara reguler.
Baca juga: Bappenas pastikan pemda sediakan akses air minum layak bagi masyarakat
Menurut Sri, standar prosedur operasional dalam menjalankan usaha juga menjadi salah satu barometer penilaian dalam menghasilkan air minum yang berkualitas. "Hanya 12,2 persen yang memiliki standard prosedur operasional dalam menjalankan usahanya," katanya.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasionel (Susenas) 2015, kata Sri, sebanyak 41 persen populasi menggunakan air minum isi ulang.
Pada kurun 1997 hingga 2008, pertumbuhan usaha depot air minum isi ulang di DKI Jakarta bertambah hingga hingga mencapai 800 persen.
Baca juga: Kemenkes: Air isi ulang dominasi konsumsi rumah tangga di Indonesia
Sri menambahkan para pengusaha depot memproduksi air dengan mengandalkan kombinasi sinar ultra violet (UV), ozone serta reverse osmosis (RO) dengan harga per galon mulai dari Rp2.601 hingga Rp3.714.
"Air isi ulang kalau menggunakan satu metode pengolahan bagus, kalau memakai metode lain jadi kurang bagus menghasilkan air yang berkualitas," katanya.
Selain itu, kata Sri, diperlukan metode baru pembersihan galon sebab peralatan yang digunakan saat ini cenderung menimbulkan rekontaminasi kuman.
Baca juga: Hasil studi: 7 dari 10 rumah tangga mengonsumsi air tercemar E Coli
"Pada alat pembersih galon masih ditemukan kuman yang dapat memicu rekontaminasi pada air. Upaya menghilangkan kontaminasi bisa dengan pengolahan secara koagulasi dan absorbsi," ujarnya.
Konsumen juga dituntut memiliki keberanian dalam menanyakan sertifikat yang dimiliki pengusaha depot air minum isi ulang.
"Perlu kesadaran dari pengusaha dan juga perlu pengawasan pemerintah. Masyarakat juga harus mulai berani sekarang. Harus bisa melaporkan kalau ada pelanggaran," ujarnya.
Baca juga: ACT produksi air minum untuk dibagikan gratis
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021