Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan mencermati lebih jauh permohonan pemohon perkara pengujian materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meskipun anak pemohon satu meninggal dunia dan perkara tetap berlanjut.Sekembalinya ke Indonesia pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika.
"Bapak Erasmus selaku kuasa hukum 'kan paham juga bahwa bagaimana hak konstitusional itu bisa atau tidak diwariskan," kata majelis hakim MK Suhartoyo pada sidang uji materi dari penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 8 Ayat (1) UU No. 35/2009 tentang Narkotika yang diselenggarakan MK secara virtual di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut berbeda dengan hak-hak keperdataan pada umumnya. Meskipun demikian, majelis hakim MK akan tetap menelaah dan mencermati lebih jauh.
Baca juga: Solusi mengatasi cerebral palsy
Pasalnya, saat permohonan awal diajukan, anak dari pemohon satu belum meninggal akibat penyakit cerebral palsy yang dideritanya. Kendati demikian, majelis hakim menanyakan apakah pemohon melalui kuasa hukumnya melampirkan surat kematian.
Terkait dengan bukti-bukti dari pemohon, majelis hakim mengatakan bahwa hal itu fleksibel apabila perkara berlanjut ke pembuktian pleno. Pada tahapan selanjutnya, pengajuan alat bukti, saksi, dan ahli masih dimungkinkan.
Sementara itu, kuasa hukum para pemohon pada perkara dengan nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki sejumlah pokok-pokok permohonan.
Pada sidang tersebut, pemohon melalui kuasa hukumnya menyampaikan narasi ilmiah sehubungan dengan perbandingan negara-negara lain di dunia yang menggunakan terapi ganja sebagai bagian dari pengobatan untuk penderita celebral palsy.
Di samping itu, para pemohon juga menjabarkan periode waktu penggunaan narkotika golongan satu untuk membantu pasien dalam pengobatan berbagai penyakit yang serupa dengan yang dialami para pemohon perseorangan pada perkara a quo.
Baca juga: Pemerintah salurkan 100 kursi roda untuk penderita lumpuh otak
Pada sidang pendahuluan, 16 Desember 2020, para pemohon mendalilkan jika tiga orang pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita celebral palsy.
Salah seorang ibu yang menjadi pemohon bernama Dwi Pertiwi mengaku pernah memberikan terapi minyak ganja kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia pada tahun 2016.
Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021