Mencoba tetap percaya kepada KPK

24 April 2021 22:49 WIB
Mencoba tetap percaya kepada KPK
Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis (22/4), di Jakarta. ANTARA/Humas KPK
Ada yang berbeda dalam konferensi pers KPK yang dihadiri Ketua KPK, Firli Bahuri, Deputi Penindakan KPK, Karyoto, serta Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, pada Kamis malam (22/4), di Jakarta.

Perbedaannya, bila biasanya penyelidik atau penyidik KPK mengenakan rompi KPK warna cokelat muda tampil untuk menunjukkan barang bukti perkara dugaan korupsi kepada masyarakat, namun saat itu seorang penyidik KPK hanya menghadapkan wajahnya ke tembok dan memperlihatkan punggungnya yang dibungkus rompi oranye bertuliskan "tahanan KPK".

Penyidik KPK itu, seorang polisi, yaitu Ajun Komisaris Polisi Stepanus Robin Pattuju, berdiri bersisian dengan advokat bernama Maskur Husain yang juga mengenakan rompi oranye.

Keduanya baru ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait penanganan perkara wali kota Tanjungbalai tahun 2020-2021.

Pattuju diduga menerima Rp1,3 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai periode 2016-2021, M Syarial. Selain itu, pada periode Oktober 2020 sampai April 2021 dia juga diduga menerima uang dari pihak lain melalui transfer rekening bank sebesar Rp438 juta.

Ia sendiri baru masuk ke KPK sebagai penyidik sejak 1 April 2019 dengan lolos tes di atas rata-rata yaitu memperoleh 111,41 persen dan tes kompetensi di atas 91,89 persen.

Hanya 1,5 tahun bekerja di KPK, tepatnya pada Oktber 2020, dia bertemu dengan Syahrial di rumah dinas Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar, Azis Syamsuddin. Dalam pertemuan tersebut, Syahrial menyampaikan permasalahan terkait penyelidikan dugaan korupsi di pemerintah Kota Tanjungbalai.

Syahrial sebelumnya memang lebih dulu mengadu ke Syamsuddin mengenai hal itu sehingga Syamsuddin lalu memerintahkan ajudannya untuk menghubungi Robin agar datang ke rumah dinasnya.

Syahrial lalu meminta agar penyeldikan KPK itu tidak naik ke tahap penyidikan dan agar Pattuju dapat membantu supaya penyelidikan tersebut tidak ditindaklanjuti KPK.

Setelah pertemuan pertama itu, Pattuju lalu mengenalkan Syahrial dengan seorang pengacara bernama Maskur Husain agar dapat membantu permasalahan.

Pattuju dan Husain lalu sepakat dengan Syarial bahwa penyidikan itu tidak akan ditindaklanjuti dengan imbalan uang Rp1,5 miliar.

Syarial pun mentransfer uang secara bertahap sebanyak 59 kali melalui rekening bank milik teman Pattuju bernama Riefka Amalia maupun secara tunai sehingga total yang telah diterima dia adalah Rp1,3 miliar. Pembukuan rekening bank menggunakan nama Amalia itu sendiri telah disiapkan sejak Juli 2020 atas inisiatif Husein.

Dari uang yang diterima Pattuju dari Syarial itu, Husein mendapatkan total Rp525 juta. Ia juga diduga menerima sebesar Rp200 juta dari pihak lain.

Setelah uang diterima, Pattuju juga kembali menegaskan kepada Syariah adanya jaminan kepastian bahwa penyelidikan korupsi di pemerintah Kota Tanjungbalai tidak akan naik ke tingkat penyidikan.

Padahal menurut Bahuri, mereka tidak pernah menghentikan penyelidikan di pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, itu.

"Kami tidak pernah menghentikan atau tidak menindaklanjuti perkara jual beli jabatan di pemerintahan Kota Tanjungbalai karena kami sudah terbitkan surat perintah penyidikan dan proses penyidikan dalam bentuk upaya paksa baik pemeriksaan saksi, pemeriksaan calon tersangka dan penyitaan barang bukti melalui penggeledahan sudah dijalankan," kata Bahuri.

KPK, menurut dia, juga akan mendalami peran Syamsuddin dalam perkara itu.

"Kami akan dalami bagaimana keterkaitan antara saudara AZ (Azis Syamsuddin), SRP (Stepanus Robin Pattuju) dan MS (M Syahrial) yang telah melakukan pertemuan. Tentu kami tidak bisa menjawab, karena kami belum mendapatkan informasi keterangan dari saudara AZ, ini perlu kami dalami," kata dia.

Ia juga menyampaikan permohonan maaf karena kasus itu.

"KPK memohon maaf, kami menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh anak bangsa karena ada kejadian seperti ini, tapi kami akan katakan komitmen KPK tak akan pernah bergeser dan tak akan mentolelir segala bentuk penyimpangan," tambah Firli.

Penerimaan suap oleh penyidik KPK juga pernah terjadi pada 2006 lampau. Penyidik KPK bernama Suparman juga menerima uang dari pihak terkait. Suparman terbukti memeras seorang saksi dan menerima uang sebesar Rp413 juta, akibat perbuatannya, Suparman diganjar hukuman 8 tahun penjara.

Kebocoran dan SP3
Sebelumnya pada 9 April 2021, penyidik KPK juga gagal mendapatkan barang bukti saat penggeledahan di kantor produksi PT Jhonlin Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu dan sebuah lokasi di Kecamatan Hampang, Kotabaru, Kalimantan Selatan, dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Kegagalan itu diduga karena barang bukti sengaja dihilangkan oleh pihak-pihak tertentu. KPK pun sedang mencari keberadaan truk yang diduga membawa dokumen dari Kantor PT Jhonlin Baratama.

PT Jhonlin Baratama adalah anak usaha Jhonlin Group milik Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam. Perusahaan batu bara itu diduga terbelit masalah pajak.

Namun terkait dugaan bocornya informasi penggeledahan di dua lokasi itu pada Jumat (9/4), Fikri mengatakan KPK tidak ingin berspekulasi lebih jauh.

"Kami tidak ingin berspekulasi terkait opini adanya kebocoran kegiatan tersebut. Prinsipnya kami akan tegas terhadap pihak-pihak yang sengaja menghalangi baik langsung atau tidak langsung terhadap proses penyidikan perkara ini," kata dia.

Meski KPK sudah menetapkan tersangka dalam perkara tersebut, namun namun KPK belum mengumumkan ke publik nama atau inisial tersangka. Pengumuman tersangka akan disampaikan saat tim penyidik KPK telah melakukan upaya paksa penangkapan atau penahanan para tersangka.

Masih ada "kontroversi" lain KPK selain penyidik yang menerima suap serta dugaan kebocoran informasi penggeledahan yaitu penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

SP3 tersebut dikeluarkan untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun.

Dua tersangka yang dihentikan penyidikannya adalah pemegang saham pengendali BDNI yaitu Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

"Sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku. Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada 1 April 2021.

Kepastian hukum tersebut harus diterapkan pasca penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan KPK ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung pada 16 Juli 2020.

PK itu diajukan KPK karena pada 9 Juli 2019 setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Penerbitan SP3 sendiri adalah produk hukum KPK terbaru berdasarkan undang-undang KPK edisi revisi yaitu UU No 19 tahun 2019, sebelumnya KPK tidak diberi hak untuk mengeluarkan SP3 seperti penegak hukum lain yaitu Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.

Perubahan?
Terhadap "kontroversi-kontroversi" berturut-turut tersebut, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera Bivitri Susanti, mengatakan, hal itu adalah dampak dari berlakunya UU Nomor 19/2019 tentang Revisi UU KPK.

"'KPK pasca revisi UU adalah suatu 'bad system' yang menghasilkan 'bad apple' karena KPK kehilangan independensi padahal untuk melahirkan suatu keputusan yang baik tidak bisa tanpa independensi. Revisi UU KPK justru melemahkan KPK," kata Bivitri yang juga menjadi salah satu pemohon judicial review UU Nomor 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengkritisi kebiasaan KPK saat ini dalam menangani perkara.

"Beberapa waktu terakhir, KPK kerap kali menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan. Selain perkara lelang jabatan di Tanjungbalai sebelumnya juga terdapat model penanganan serupa, misalnya dalam dugaan suap pajak dan korupsi pembangunan gereja di Mimika Papua," kata Kurnia.

Merujuk pada UU KPK, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi lembaga anti rasuah itu untuk menutup-nutupi nama tersangka saat proses penanganan perkara sudah masuk dalam proses penyidikan.

Menurut dia, pasal 44 ayat (1) UU KPK sudah jelas menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup.

"Hal itu menandakan, tatkala perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, maka dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka. Dengan melakukan hal ini secara terus-menerus maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK perihal asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga," ungkap Kurnia.

Kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka ini menurut Kurnia juga semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan SP3 yang diatur dalam pasal 40 ayat (1) UU KPK. Penerimaan suap yang diduga dilakukan oleh penyidik KPK tersebut, patut diduga karena adanya aturan penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK.

"Kami sudah mengajukan permohonan JR lebih dari setahun dan putusannya agak tertunda karena pilkada tapi ternyata malah memberikan bukti konkrit rusaknya KPK dengan terbitnya SP3, penghilangan barang bukti hingga penyidik yang menerima uang. Kami harap hakim MK dapat melihat hal ini karena UU KPK yang berlaku saat ini sangat merusak logika hukum," kata Bivitri.

ICW juga menyebut sepanjang 2020 setidaknya ada enam lembaga survei yang mengonfirmasi berkurangnya tingkat kepercayaan publik kepada KPK

Contohnya menurut survei Indikator, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK pada Juli 2020 berada di angka 74,7 persen. Angka tersebut menempatkan KPK di bawah TNI (88 persen), presiden (79,1 persen), dan Polri (75,3 persen) dalam hal kepercayaan publik.

Ia menyebut melorotnya kepercayaan publik kepada KPK itu karena kepemimpinan Bahuri dan penerapan UU Nomor 19/2019 tentang revisi UU KPK.

Bahkan pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengusukan agar KPK dibubarkan dan dibentuk lembaga antikorupsi baru karena dengan UU KPK Nomor 19/2019, KPK dinilai sudah sekarat apalagi pada 1 Juni 2021 seluruh pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Alasannya adalah karena tidak lagi penyidik independen di KPK tetapi yang adalah adalah Penyidik PNS, yang pengawasannya dipegang koordinator Pengawas  PPNS Polri.

Atas kritik tersebut, Bahuri --seorang komisaris jenderal polisi-- mengungkapkan KPK tak alergi perbaikan dan mendukung perubahan.

"Perubahan adalah suatu keniscayaan, kalau kita ingin baik kita harus lakukan perubahan, untuk itu kami akan melakukan kajian untuk melakukan perbaikan apakah itu dari sistem rekrutmen apakah itu pembinaan kepegawaian, atau 'human capital' termasuk sarana prasarana," kata Firli.

Bagaimana cara KPK meraih kembali kepercayaan publik secara lebih baik dengan sejumlag "kontroversi" itu ?

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021